http://abadkejayaan-antv.blogspot.com/
Elif meninggalkan Omer begitu saja di
pantai, setelah ia menceritakan semua rahasianya pada Omer, bahwa dia seorang
kurir pencucian uang dan penyedia perhiasan palsu atas suruhan Metin. Meski
Elif memberitahu kalau semua itu dilakukannya karena terpaksa (saat Metin
menculik Nilufer), namun Omer masih saja tak bisa menerimanya. Elif
meninggalkan Omer karena rasa bersalahnya. Omer pun tak mau mengejarnya. Dia
terlihat marah, kecewa, namun juga tak tahu berbuat apa. Hatinya hancur.
Elif pergi ke sisi barat pantai sembari
menangis. Ia lalu berhenti sebentar, dan menengok ke belakang.
Ia melihat Omer
pergi ke sisi timur (berlawanan arah). Itu artinya Omer benar-benar tak ingin
mengejarnya. Elif semakin kecewa. Tangisnya pecah. Hingga ia tak sadar kalau
ada pesepeda melintas di belakangnya, dan hampir saja tertabrak.
Saat Omer berjalan makin jauh dari Elif,
ia mendapat telepon dari Arda. Ada kabar buruk.
“Ada apa Arda?” Tanya Omer.
“Apa Elif bersamamu?” Tanya balik Arda.
“Dia tak bersamaku.”
“Kami butuh bicara dengan Elif!”
Omer tampak penasaran dan menghentikan
langkahnya, “Apa yang terjadi?”
“Kabar buruk, Kawan!”
“Apa yang terjadi? Bicaralah yang
jelas!”
Arda lalu memberitahu Omer bahwa Zerrin
meninggal dunia. Wajah Omer langsung pucat.
Sementara itu, Huseyin mengambil
sekantong berlian dari kandang buruk, dan menyembunyikannya di saku. Saat akan
masuk ke dalam rumah, ia ditabrak Melike yang sedang membawa pakan ayam.
Huseyin marah-marah.
“Kau disini? Aku sumpah tak melihatmu.
Aku baru saja akan memberi pakan ayam!” Melike merasa bersalah.
Sementara itu Huseyin sibuk membersihkan
pakan ayam yang menempel di baju dan celananya. Saat Melike ingin membantu
membersihkannya, Huseyin melarangnya. Dia takut kalau Melike mengetahui berlian
di sakunya.
“Aku tak mengerti kenapa kau begitu
marah. Ini sungguh ketidak-sengajaan! Ngomong-omong, apa yang kau lakukan
disana (di kandang burung)? Apa yang kau kerjakan?” Tanya Melike.
Huseyin kembali membentak Melike dengan ucapan
kasar.
“Aku harus pergi. Apakah kau butuh
sesuatu dari pasar?” Huseyin pamitan.
“Sausnya habis. Beli juga sedikit daging
cincang....!” Jawab Melike.
Hasan muncul dari lantai dua dan
memanggil ayahnya. Hasan ingin ikut bersama Huseyin ke pasar, namun Huseyin
melarangnya. Melike pun menyuruh Huseyin membawa Hasan bersamanya karena
anaknya itu terus mengganggunya seharian. Huseyin kembali memarahi Melike, lalu
ia turun ke jalan dan pergi begitu saja.
Di rumah sakit, seorang petugas keamanan
menceritakan kronologis kematian Zerrin pada Tayyar.
“Nyonya Zerin masuk ke dalam ruang rawat
Asli, dan kemudian terdengar teriakan dan ia jatuh terbentur. Asli mendorong
ibunya sebelum perawat datang ke sana. Anak buahku sempat memberikan pertolongan,
tapi Nyonya Zerrin sudah tak bisa diselamatkan.”
Tayyar lalu bertanya, “Apa kau sudah
mengerjakan apa yang aku suruh? Apa kau sudah mengatur semua yang kuminta?”
“Tentu, Tuan. Petugas keamanan di rumah
sakit ini juga berpikiran yang sama dengan kita. Kita sudah siap memberikan
laporan.”
Anak buah Tayyar yang lain lalu muncul.
Tayyar bertanya, “Dimana Asli?”
“Dia mengunci dirinya dalam kamar, Tuan.
Dia tak membiarkan siapapun masuk!”
Tayyar tampak marah, “Bagaimana bisa kau
berbuat seperti ini?”
“Ketika kami paksa, dia berubah
histeris. Kami pun pergi dan menungguinya di depan bintar agar dia bisa
tenang...”
Tayyar lalu mengolok dan membentak anak
buahnya, “Good job! Kerja yang bagus. Bagus sekali....”
Tayyar pun berlalu untuk menemui Asli.
Di pantai, Omer berbalik arah dan
mencari Elif. Namun Elif sudah pergi.
“Dimana kau Elif? Dimana kau?”
Omer mencoba meneleponnya. Elif tak mau
mengangkatnya karena sedang menyetir dan ia masih saja menangis.
Kembali ke rumah sakit. Asli sendirian
di kamar rawatnya. Ia lalu membuka jendela, dan melihat pemandangan di bawah
sana. Wajahnya diselimuti kesedihan dan amarah pada dirinya sendiri (karena ia
telah membunuh ibunya). Asli pun mencoba loncat dan mengakhiri hidupnya.
Di luar, seorang perawat terus mengetuk pintu
dan memanggil Asli. Tak lama kemudian, Tayyar datang bersama seorang
pengawalnya.
“Apa yang terjadi?” Tanya Tayyar.
“Tuan Tayyar, dia mendorongku ke luar
lalu mengunci pintunya. Aku tak bisa menghentikannya. Dia berteriak kalau dia
ingin melompat dari jendela...”
Tayyar menyuruh pengawalnya mendobrak
pintu. Sementara itu Asli sudah ancang-ancang meloncat di jendela. Setelah
pintu terbuka, Tayyar berteriak pucat memanggil nama Asli.
Dua polisi menyuruh Metin turun dari
mobilnya (di tepi jalan raya). Nilufer ikut turun dari mobil dan mengejarnya.
“Tunggu aku!” Ucap Nilufer.
“Sayang. Aku pergi dengan polisi-polisi
ini. Tak ada yang mengharuskanmu untuk iku,” Metin menolak.
Saat Metin masuk ke dalam mobil polisi,
Nilufer nekat masuk juga. “Aku ikut!”
“Nilufer, bawa mobilnya dan pulanglah ke
apartamenku. Jelas ini Cuma kesalahpahaman. Oke, tuan putri? Pergila!”
“Tak mau.”
Metin tak bisa berbuat apa-apa. Para
polisi itupun akhirnya pergi dengan membawa Nilufer juga.
Hatice pulang ke rumah. Nyonya Fatma terkejut
setengah mati. Mereka lalu berpelukan. Hatice menangis.
“Anakku... anakku! Putriku. Apa yang
terjadi? Apa yang terjadi, sayang?”
“Aku melihat polisi....”
Nyonya Fatma menyela, agar Hatice
berhenti bicara karena ayahnya bisa mendengar. Mereka lalu masuk ke ruang tamu.
“Polisinya ternyata orang-orangnya
Metin, Bu! Aku ketakutan sekali saat mereka menghentikanku. Aku pikir mereka
akan menangkapku.”
“Baiklah putriku... jangan menangis...”
“Aku tak bisa melakukannya. Kutinggalkan
koper itu lalu aku melarikan diri, Bu! Maafkan aku.”
“Oh anakku. Apa yang akan kita lakukan
sekarang? Kita terima saja takdir kita, sayang!”
“Apa yang akan dilakukan Metin nantinya,
Bu?”
“Jangan cemaskan itu. Jangan takut. Aku
akan menanganinya....”
Di kamar rawatnya, Asli dipegangi Tayyar
dan terus saja berteriak “Aku tak mau hidup lagi! Aku sudah membunuhnya
(ibunya).”
“Dengarkan aku!”
“Aku tak bisa lagi hidup. Biarkan aku
mati. Aku tak berhak lagi untuk bernapas! Aku telah membunuhnya. Aku membunuh
ibuku.....”
“Cukuuuup!” Sentak Tayyar. “Kau tidak
membunuh siapapun. Itu kecelakaan. Kau tak membunuh ibumu.”
“Tidak, Paman Tayyar. Akulah yang
mendorongnya. Akulah yang mendorong ibuku sendiri.”
Tayar lalu memeluk Asli dan
menenangkannya.
“Apa yang sudah kulakukan pada ibuku? Ya
Tuhan.... apa yang sudah kulakukan! Ibu.....!” Asli menjadi lebih histeris.
Perawat datang membawa suntikan obat
penenang dan menyuntikannya di lengan Asli. Perlahan, Asli mulai tenang namun
tetap sadarkan diri.
Saat Asli di bawa ke tempat tidurnya.
Tayyar menyuruh perawatnya untuk terus memberinya obat penenang.
Asli kembali menangis. “Apa yang harus
kukatakan pada Elif? Aku telah membuat adik-adikku kehilangan ibunya. Apa yang
harus kulakukan?”
Tayyar keluar meninggalkan kamar
rawatnya Asli. Dia memerintahkan pengawalnya untuk melarang siapapun masuk ke
dalam sana tanpa seizinnya.
“Jika polisi ataupun keluarganya Elif
datang, mereka harus menemuiku terlebih dulu. Paham?”
“Ya, Tuan!”
“Sekarang suruh semua pegawai yang
bertugas di lantai ini mulai dari penjaga, dokter, perawat, tukang
bersih-bersih, semuanya, untuk datang menemuiku di kantor! Suruh juga dokter
bodoh yang tak memberi Asli obat penenang ke kantor, agar aku bisa memeriksa
sel otaknya dan melihat apakah otaknya bekerja dengan baik!” Tayyar benar-benar
marah.
Di jalan raya, Arda dan Pelin berada
dalam satu mobil untuk menjemput Omer. Pelin mengeluhkan cara Arda menyetir
mobil yang lambat seperti gadis. Keduanya pun berdebat. Hingga mereka melihat
Omer di tepi jalan.
Omer pun lalu masuk dan duduk di jok belakang.
“Apa sudah pasti bahwa Nyonya Zerrin
sudah meninggal? Aku harap itu kesalahan!” Kata Omer.
“Akupun berharap sama, tapi kabar yang
kami terima, jenazahnya sudah ada di kamar jenazah.” Jawab Pelin.
“Apa sudah ada ivenstigasi?” Tanya Omer.
“Tak ada. Petugas keamanan rumah sakit
melapor kalau itu kecelakaan.” Sahut Arda.
“Kecelakaan macam apa?” Omer penasaran.
“Kita akan mengerti nanti. Kita harus
segera kesana, agar kita bisa berada di samping Elif seandainya dia sudah ada
di sana....” Kata Pelin. “Betapa tidak beruntungnya. Elif pasti sedang hancur.
Dia dan saudari-saudarinya.....”
“Bukankah Elif bersamamu, Bro?” Tanya
Arda.
“Dia tak bersamaku saat kau
meneleponku.” Jawab Omer.
Arda melihat sepertinya Omer dan Elif
sedang punya masalah.
“Lihatlah nasibnya Elif!” Ujar Pelin.
“Ini sungguh hari yang berat untuk
keluarga Denizer!” Tambah Arda. “Tak diragukan lagi. Elif pasti hancur saat
mendengar kabarnya....”
Memikirkannya, Omer semakin khawatir dan
risau akan Elif.
Di salah satu pos polisi yang ada di
sudut kota Istanbul, Metin dan Nilufer disuruh menunggu di sebuah ruangan
seperti ruang kerja. Metin duduk berusaha tenang. Sedangkan Nilufer terus saja
mondar-mandir cemas di depannya.
“Berhenti wira-wiri dan duduklah,
Nilufer! Kau bisa menciptakan embusan angin....!” Seru Metin.
“Bagaimana bisa kau setenang ini? Mereka
akan menahanmu!”
“Bagus. Duduklah di depanku agar aku
bisa memandangi wajahmu. Biarkan aku mengenang wajah cantikmu!”
“Ayo kita kabur saja!”
“Jangan konyol!”
Seorang polisi lalu masuk untuk
mengambil surat-surat. Metin menanyainya.
“Apa yang kami tunggu?” Tanyanya.
“Rekan-rekanku sedang mengurusnya,
mereka akan segera memberitahumu. Mereka sedang memburu orang yang identitasnya
telah dilaporkan pada kami.” Jawab Polisi itu.
“Siapa yang lapor?”
“Elif Denizer!”
Wajah Metin langsung pucat. Begitupun
Nilufer.
“Apa yang harus kita lakukan?” Tanya
Nilufer.
“Kita harus menunggu dengan tenang,
Oke!”
Omer, Arda, dan Pelin diantar seorang
petugas keamanan rumah sakit masuk ke dalam ruang rawat Asli sebelumnya, tempat
Zerrin terjatuh hingga tewas.
“Seorang perawat mengingatkan Nyonya
Zerrin untuk berhati-hati saat masuk ke ruangan karena lantainya basah. Lau
Nyonya Zerrin masuk, dan kembali untuk menutup pintu... kakinya terpeleset dan
kepalanya membentur jendela.” Tutur petugas itu.
Omer lalu melihat ada kamera CCTV di
atap. Di saat yang bersamaan Tayyar ikut masuk.
“Apa kau punya rekaman kamera CCTV?”
“Sayangnya tidak. Nyonya Zerrin
menyuruhku untuk mematikan semua kamera pengawas di kamarnya Asli, orong, dan
lif masuk untuk menjamin privasi dari para media. Aku sudah bilang ke dia kalau
dia itu paranoid, tapi dia tak mau mendengar dan aku tak bisa menolak
permintaannya.” Tayyar menjelaskan.
“Oke, bagaimana kau bisa menyimpulkan
dengan cepat kalau semua itu adalah kecelakaan?” Tanya Pelin. Sementara itu
Omer terus memeriksa setiap sudut kamar.
“Ada seorang saksi mata saat kecelakaan
itu terjadi. Ada darah di jendela dan lantai. Ada bekas goresan hak sepatu di
tempat dia terjatuh... jarak antara jejak sepatunya dengan tempat kepalanya
terbentur pun masuk akal. Setelah kita kami menanyai beberapa pegawai di lantai
ini yang menemukan Nyonya Zerrin. Mereka memastikan bahwa tak ada orang asing
yang masuk ke lantai ini.”Kata petugas keamanan.
Tayyar menambahkan, “Para dokter sudah
berusaha menyelamatkan Zerrin selama setengah jam, tapi mereka tak
berhasil....”
Tayyar tampak sedih. “Aku kehilangan
sahabatku satu per satu selama 40 tahun persahabatan. Aku benar-benar
terguncang. Permisi!”
Tayyar keluar, dan bersedih di sana.
Omer ikut keluar dan mengucapkan
belasungkawanya.
“Apakah nyonya Asli ada di kamarnya
selama insiden terjadi?” Tanya Arda.
“Dia dirawat secara intensif sejak
kemarin. Dia diberi obat penenang karena kondisinya memburuk.” Kata Tayyar.
“Apa kau sudah menghubungi Elif?” tanya
Omer.
“Sayangnya belum. Bahar dan aku terus
saja menghubunginya. Tapi dia tak juga menjawab telepon kamu. Aku sangat
mengkhawatirkannya sekarang. Dia tak biasanya bertingkah seperti ini. Apa kau
tahu dimana dia?” Tayyar malah bertanya balik pada Omer. “Maksudku, kalian
berdua menjadi teman dekat selama investigasi. Itu kenapa aku bertanya seperti
itu.”
“Aku tak tahu dimana dia. Aku tak bisa
menemukannya.”
“Tolong beritahu aku saat kau
menemukannya. Aku tak bisa menemukan Nilufer juga. Aku ingin mereka datang
menemani kakaknya.”
Omer, Arda, dan Pelin pun akhirnya pergi
meninggalkan Tayyar.
Kembali ke pos polisi. Metin dan Nilufer
masih sabar menunggu.
“Kenapa tak ada seorangpun yang bisa
memberitahu kita sesuatu?” Tanya Nilufer.
“Keja lamban selalu terjadi di fasilitas
pemerintahan. Seseorang akan segera datang!” Metin menyuruhnya sabar.
“Aku tak bisa bertahan lagi. Aku akan
pergi.”
“Kemana?”
“Untuk memberikan pernyataanku. Aku akan
bilang ke para polisi di luar sana, jadi mereka tak harus menunggu kakakku
seperti ini. Aku Nilufer Denizer, dan aku akan bilang kau tidak menculikku...”
“Itu tidak mungkin.”
“Apa yang akan kulakukan jika mereka
menahanmu?”
“Nilufer, jangan aneh-aneh, kumohon. Itu
sungguh tidak mungkin.”
“Saat Elif datang, kakaku akan bilang
bahwa kaulah orang yang menculik kami. Dan mereka akan menahanmu. Apa yang
harus kuperbuat kemudian?”
“Tinggalkan aku. Sepakat?”
Nilufer tak mau, lalu memeluk Metin.
Di suatu tempat, Huseyin mendatangi
sebuah apartemen kelas menangah. Dia dipanggil “Tuan Cihat” oleh seorang pria
yang mengenalnya. Sepertinya mereka bertenggaan.
Rupanya Huseyin punya rumah dan keluarga lain (yang ia rahasiakan dari siapapun). Dia
masuk ke rumahnya itu, lalu menghampiri kamar anak lelakinya.
Setelah mencari
tempat yang aman, akhirnya Huseyin menemukan keranjang bayi yang diletakkan di
atas lemari. Huseyin lalu menyembunyikan semua berliannya ke dalam keranjang bayi
itu. Namun sebutir berlian diambilnya dan dimasukkan ke dalam kantong.
Di
ruang tamu, seorang perempuan Rusia
berambut pirang sedang duduk bersama anak lelakinya berusia 6 tahun.
Mereka
adalah istri simpanan Huseyin dan anak ketiganya. Mereka tampak bahagia.
Tak ada siapapun yang mengetahui bahwa Huseyin memiliki kehidupan
ganda. Satu keluarga bersama Melike dengan dua anaknya, dan yang kedua
bersama perempuan Rusia dengan satu anak lelaki di apartemen mewah.
Kembali ke pos polisi. Akhirnya para
polisi menemui Metin dan Nilufer. Seorang polisi memberitahu Metin, “Kami telah
melihat identitasmu di pusat data kami. Kami melakukan penyelidikan kecil.
Maafkan kami, karena para petugas kami telah menangkap orang yang salah. Tak
perlu lagi proses identifikasi. Kalian berdua bisa pergi sekarang!”
Metin dan Nilufer pun akhirnya bisa
meninggalkan pos polisi.
“Bagaimana bisa kau menyelesaikan semua
ini?” Tanya Nilufer.
“Aku punya relasi dengan para
petinggi....”
Lagi-lagi keduanya bertengkar soal
video. Namun dengan cepat mereka berbaikan kembali. Metin lalu mencegat taksi
dan Nilufer pergi dengan taksi itu.
Omer menghubungi Hulia untuk
mengabarinya jika Elif sudah pulang. Omer lalu pergi sendirian dengan mobilnya
untuk mencari Elif.
Metin datang ke perusahaannya. Dia
tampak stress dan saki kepala. Meti menanyakan anak buahnya soal Taner. Namun
anak buahnya menceritakan soal Hatice yang kabur meninggalkan uang dan kopernya
begitu saja di bandara saat tahu ada polisi yang hendak menangkapnya. Metin
menjadi marah, dan langsung pergi dengan mobilnya sembari menelepon seseorang.
Rupanya dia menelepon Elif.
Elif berada di pinggir jalan saat Metin
meneleponnya.
“Halo rekanku!”
“Ada apa?”
“Kurir baru kami benar-benar tak
berguna. Sekarang kau yang mengambil alih. Singkatnya, kau akan pergi ke Roma
lagi. Uang-uang ini harus dikirim besok, jadi aku akan memesankan tiketmu.”
“Cukup! Aku sudah muak denganmu, apa kau
mengerti?”
“Haruskah kukirim video itu (rekaman
saat Elif melakukan transaksi pencucian uang di bank Roma) ke pacar polisi
tersayangmu?” Ancam Metin.
“Jangan ragu! Kirim saja sekarang! Kirim!
Tak masalah buatku!” Sentak Elif
Metin terheran-heran.
Omer
menyetir mobilnya di jalan raya.
Dia mengingat perkataan Elif tentang tatonya ‘Cinta Tak Bersyarat’. Saat
itu Omer bertanya, apakah Elif sudah menemukan Cinta Yang Tak
Bersyarat.
Elif sendiri sedang berada di pemakaman.
Ia berat melangkah, dan kembali perkataan Omer tentang kejujuran. Elif juga
mengingat saat Omer menciumnya di hotel semalam. Air matanya kembali meleleh.
Di dalam selnya yang gelap, Taner duduk
sendirian. Melamun. Seorang petugas lalu masuk membawa makanan. Taner sibuk
sendiri. Ia mengingat-ingat kejadian saat dua orang menghajarnya malam itu, dan
mereka menanyakan berlian. Taner lalu mengingat perkataan Pinar tentang betapa
bahayanya Tayyar. Taner akhirnya mengerti kalau Tayyar mengetahui soal berlian
itu.
Taner memanggil petugas yang
mengantarkan makanan.
“Aku harus bicara dengan Tuan Tayyar!”
“Kau memerintahku? Apa ada perintah
lain? Beginilah tingkah orang kaya!” Ledek petugas itu yang kemudian pergi dan
menutup pintu selnya Taner.
“Pak penjaga! Pak Penjaga! Aku harus
bicara dengan Tayyar Dundar!”
Di kantornya, tayyar sedang bicara
dengan ikan-ikan piranhanya yang berada di dalam aquarium. Seorang anak buahnya
lalu datang memberitahu bahwa Metin telah datang. Tayyar pun bersiap
menemuinya.
Di tengah laut, di dalam kapal, Pinar
yang terborgol berusaha melepaskan diri. Pergelangan tangannya sampai memerah
dan berdarah. Tubuhnya lemas.
Tayyar menemui Metin di ruang rahasia,
bawah tanah rumah sakitnya.
“Apa aku membuatmu menunggu, keponakanku
yang tampan? Apa kau punya kabar bagus? Ayo katakan!”
“Jangan bertingkah seolah kau belum
mendengarnya saja, paman!”
“Aku sudah dengar. Aku sudah dengar.
Terima kasih tuhan, kau berhasil memecahkan rekor dunia untuk kegagalanmu hari
ini. Taner lolos dari genggamanmu. Dan kurir barumu telah mengacaukan bisnis
kita.”
“Aku telah mengirim seseorang ke dalam
sel tahanannya Taner. Mereka akan melakukan pekerjaannya dan menyelesaikan
masalah ini.”
“Benarkah?”
“Aku akan membawanya ke luar negeri
minggu ini. Jangan takut!”
“Sungguh?”
Tayyar lalu menunjukkan kamera handycam
yang ia temukan di apartemennya Metin. Ia perlihatkan isi rekaman Metin dan
Nilufer yang sedang bercinta.
Metin tampak shock.
“Ambillah! Ambillah! Jangan ragu!
Tontonlah penampilan-oscar-mu ini...!” Suruh Tayyar.
Metin pun mengambil handycamnya.
“Paman, ini tak seperti yang kau
pikirkan. Aku serius tentang Nilufer.”
“Lalu apa ini? Apa ini? Tidakkah kau
melakukan perbuatan menjijikkan seperti ini? Aku percayakan padamu gadis ini.
Bagaimana bisa kau berani berbuat seperti itu? Heh?” Tayyar marah-marah. “Pikiranmu
serius? Serius?”
“Kenapa kau begitu marah seperti ini?
Gadis ini single dan mencintaiku Gadis ini tak punya kekasih... “
Tayyar memikirkan soal Mert, yang juga
mencintai Nilufer. Tayyar pun mengancam Metin, “Jika kau mendekati Nilufer
lagi, aku akan membuatmu menyesal karena telah meminum air susu ibumu. Jiwa
siapapun akan terluka, Metin. Dan yang paling terluka, adalah kau.”
“Aku mencintai gadis itu!”
“Diam kau! Siapa kau hingga berani
mencintai Nilufer? Lihat dirimu dan lihatlah Nilufer! Siapa kau? Heh! Siapa
dirimu ini?”
Metin hanya melotot menahan amarahnya.
Tayyar lalu melanjutkan ucapannya, “Jika kau punya pekerjaan, itu semua karena
aku. Bahkan jika kau punya uang untuk membeli celana dalam, itupun karena
diriku. Setiap napasmu berhutang padaku. Kau akan mengikuti perintahku dan
hidup seperti keinginanku. Mengerti? Mengerti? Beraninya kau mengkhianati
kepercayaanku! Beraninya kau!”
Tayyar lalu menyuruh Metin meletakkan
tangannya di depannya. Tayyar sudah mengambil palu sebelumnya.
“Letakkan tanganmu disitu!”
Metin akhirnya meletakkan jemari
tangannya.
“Jari mana yang kau gunakan untuk
menyentuh Nilufer? Yang mana? Huh? Kau tidak akan pernah menyentuh Nilufer
lagi!” Tayyar akhirnya memukulkan palu itu ke jemari Metin.
Ahhh sadisss! Sebelum pergi, Tayyar
menyuruh Metin membawakan Taner di depannya dalam satu hari.
Di pemakaman, Elif berdiri di depan
kuburan ayahnya.
“Terakhir aku kesini saat pemakamanmu,
Ayah! Aku tak pernah lagi datang kesini sejak hari itu karena aku marah padamu.
Kau menyembunyikan banyak orang dalam hidupmu yang tak kuketahui. Apa kau tahu?
Aku mencintai seseorang untuk pertama kalinya. Aku mempercayai seseorang untuk
pertama kalinya. Aku jatuh cinta pada seseorang untuk pertama kalinya. Aku
telah memimpikan masa depan bersamanya. Tapi hari ini semua itu berakhir. Aku
kehilangan dirinya. Aku sungguh marah padamu. Kau tidak Cuma mengambil masa
mudaku. Kau juga telah membunuh masa depanku, Ayah. Tapi kau tahu apa yang
paling? Aku sungguh membutuhkanmu saat ini.”
Elif menangis dan duduk di kuburan
ayahnya. “Aku sungguh membutuhkanmu. Jika kau disampingku sekarang, kau bisa
memelukku dan membelai rambutku. Dan kau akan bilang, semua ini akan berlalu,
anakku! Agar aku bisa punya kekuatan untuk melanjutkan hidup. Tapi semua itu
telah terlambat. Aku sekarang sudah sepertimu. Kumohon padamu ayah,,,, pegang
tanganku! Pegang tanganku dan tolonglah aku.... kumohon pegang tanganku Ayah!”
Omer muncul di belakang Elif. Elif
terkejut.
Omer mengulurkan tangannya. Elif pun
menggenggamnya dan berdiri.
“Bagaimana kau bisa menemukanku?” Tanya
Elif.
“Aku berusaha mencarimu. Bahar juga
berusaha menemukanmu. Tapi kau tak menjawab teleponmu.”
“Aku tak mendengar bunyinya....itu tidak
lagi penting kau kau sudah ada disini....apa kau kesini untuk bicara? Percayalah
Omer. Aku siap melakukan apapun yang kau katakan nanti. Kuakui semua
kesalahanku, dan aku siap menebus semuanya....”
“Elif, aku kesini untuk bukan
membicarakan hal itu.”
Elif penasaran, “Kenapa kau kesini?”
“Aku punya kabar buruk untukmu.”
“Apa yang terjadi?”
“Kecelakaan apa?”
“Asli?”
“Tak terjadi apa-apa pada Asli!”
Elif tenang. Namun penasaran, “Lalu apa
yang terjadi?”
“Kami telah kehilangan ibumu... aku
turut berduka...”
“Jangan bercanda! Apa maksudmu dengan
kami kehilangan ibumu?”
“Saat ibumu menjaga Asli di rumah sakit.
Dia terlepeset dan kepalanya terbentur. Mereka berusaha menyelamatkannya, namun
tak berhasil.”
“Omer, jangan bersikap yang tidak masuk
akal. Tanah kuburan ayahku belum kering... bagaimana bisa aku kehilangan ibuku
juga, Omer?” Elif menangis. “Ibuku tak boleh mati, Omer. Dia tak boleh mati.
Kau pasti bohong!”
Omer pun memeluk Elif untuk
menenangkannya. Elif benar-benar terpukul. Tangisnya pecah dan hatinya hancur.
Keesokan harinya, Zerin dikuburkan.
Nilufer terus saja menangis di pelukan Elif. Omer dan Arda tampak sibuk
mengubur tanah ke kuburan Zerin.
Omer sangat tak tega melihat Elif.
Setelah itu ia menemui Elif dan mengucapkan
belasungkawa.
Seluruh keluarga Omer pun datang. Mereka
berurutan mengucapkan belasungkawa pada Elif.
Di tempat terpisah, Asli masih tertidur
dan tak sadarkan diri di rumah sakit.
Setelah semua pelayat pergi, Elif
mendekati kuburan ibunya dan menangis di sana dengan ditemani Tayyar Dundar.
Omer terus saja memperhatikan Elif dari kejauhan. Omer tampak tak tega.
Omer, Arda, dan Pelin, sedang berada di
sebuah kafe. Arda dan Pelin bertanya kenapa Omer seperti sedang menjauhi Elif,
padahal sekarang Elif sangat membutuhkan kehadirannya. Setelah dipaksa Arda dan
Pelin, akhirnya Omer memberitahu alasan mereka. Bahwa Elif seorang pencuci uang
haram. Itu kenapa dia sangat kecewa pada Elif saat ini.
Elif menemui Asli di rumah sakit. Asli
masih saja tak bangun-bangun. Elif mengatakan sesuatu padanya.
“Kakakku sayang. Hari ini kita
mengucapkan perpisahan pada ibu kita. Dia tidak bersama lagi dengan kita. Ibu
telah bersatu dengan ayah. Mereka berdua telah tiada. Kumohon, kerahkan
tenagamu! Kita ditinggal sendirian. Kami sangat membutuhkanmu.”
Tayyar datang. Elif memeluknya. “Paman
Tayyar, berapa lama lagi dia akan tertidur? Apa mereka menyuntikkan obat begitu
banyak?”
“Kau benar sekali. Tapi kami terpaksa
melakukannya. Dia harus melalui semua ini. Kita terpaksa membiusnya agar dia
tidak melukai dirinya sendiri. Dia hampir saja meloncat dari jendela. Kau tahu
itu? Kami sudah berkonsultasi dengan dokter dari Amerika. Dia akan datang
kemari. Dia akan meresepkan dosisnya. Jadi jangan mengkhawatirkannya!”
“Baiklah. Lakukanlah apapun yang
dibutuhkan selama masih di bawah kontrol.”
“Baiklah! Jangan cemas!” Ucap Tayyar,
yang lalu pergi keluar.
Elif kembali mendekati Asli dan mencium
hidung kakaknya itu sembari menangis.
Di lorong rumah sakit, Elif kembali
menemui Tayyar.
“Taner juga di penjara. Jika dia disini,
setidaknya dia bisa membantu Asli!” Ujar Elif.
“Apa Taner baik-baik saja? Tempatnya
akan terlihat sangat kecil baginya selama dia ada di sana. Kedaan seperti itu
tak akan pernah ia sangka. Beritahu aku jika dia butuh seorang pengacara.”
Elif lalu mengingat perkataan Omer,
kalau Taner berselingkuh dengan Pinar. Elif pun sangat takut kalau Tayyar
mengetahui soal itu.
“Tak perlu. Tak butuh pengacara, Paman
Tayyar! Aku juga belum mengunjunginya sama sekali. Hari ini aku akan kesana.
Aku tidak tahu apa yang harus kuperbuat dan bagaimana aku akan mengatasi semua
ini.”
“Apa kau berpikir kalau Taner seorang
pembunuh?”
“Aku tak tahu, Paman. Aku tak tahu.”
Elif menutupi wajahnya. “Aku berdoa pada Tuhan semoga saja bukan dia. Aku
berhenti memikirkan tentang kami sekarang. Ibu, ayah, dan Taner? Asli tak akan
mampu menghadapi semua ini.”
“Kau benar. Kau benar.”
“Bagaimana keadaan Pinar? Dia tak datang
saat pemakaman!”
“Dia baik-baik saja. Dia berada di rumah
ibunya.”
Di tengah laut, di dalam kapal, kondisi
Pinar semakin lemah. Dia kehausan. Ia lalu melihat ata tetesan air hujan di
atap. Pinar membuka mulutnya dan menangkap tetes-tetesan itu untuk mengobati
dahaganya.
Kembali ke Omer, Arda, dan Pelin yang
berada di kafe tepi dermaga.
“Aku sungguh tak menyangka kenyataan
seperti ini datang dari Elif. Aku benar-benar tak menyangka.” Ujar Omer.
“Apa ini yang membuatmu begitu terkejut?”
Tanya Pelin. “Kita tahu bahwa Metin telah mengancam Elif. Adiknya saat itu ada
di genggaman Metin. Dia melakukan semua itu untuk melindungi keluarganya.
Kepeduliannya bukanlah keburukan. Sebenarnya, dia juga korban. Kau tidak
memikirkannya lewat cara pandang yang lain, Omer! Kau lebih mengenalnya
dibandingkan kita. Dia bukanlah tipe gadis yang sanggup melakukan kejahatan.”
“Tapi dia sudah melakukannya, Pelin. Dia
telah melakukannya. Dia sudah menyelesaikannya. Aku bersamanya saat itu. Aku
benar-benar Marah pada Elif!” Jawab Omer. “Aku sudah menanyainya saat di Roma,
ketika aku mencurigainya. Aku memintanya, jika mereka menyuruhnya melakukan
pencucian uang haram, jangan mau melakukan perbuatan bodoh itu. Aku bisa
menolongnya.”
“Tapi dia sedang diancam dengan nyawa
adiknya sebagai taruhan. Bagaimana bisa dia langsung mempercayai seorang pria
yang baru dikenalnya dalam dua hari (yang dimaksud Pelin adalah Omer)? Dia
mungkin berpikiran, bisa jadi kau seorang polisi korup. Bisa jadi kau pria yang
bekerja dengan Metin. Pikirkanlah tentang adiknya yang bisa saja mati jika Elif
membuat sedikit kesalahan saja. Lihatlah masalah ini lewat matanya Elif (cara
pandangnya Elif) dan tempatkan dirimu dalam sepatunya.”
“Percayalah padaku, hari itu aku tak
melakukan apapun, Pelin! Aku tak menyalahkan Elif. Sebetulnya, aku marah pada
diriku sendiri.” Tutur Omer.
“Apa yang kau temukan hingga kau
menyalahkan dirimu lagi saat ini?” Tanya Arda.
“Bagaimana bisa aku tak melihatnya,
Kawan? Bagaimana bisa aku tak melihatnya? Segalanya terjadi dan berakhir di
depanku. Aku sudah tahu kalau dia menyembunyikan sesuatu sejak awal. Tapi apa
yang kulakukan? Aku mengabaikannya jauh di belakang, lalu melupakan semua itu.”
Omer menjelaskan.
“Kawan, dengarkanlah! Kau terkadang lupa
bahwa kau hanyalah manusia. Oke, kau sungguh polisi yang hebat tapi kau
sejatinya Cuma manusia. Maksudku, semua ini bisa terjadi. Itu mungkin kau
melewatkan sesuatu. Itu mungkin kau membuat kesalahan.” Arda menasehatinya.
“Omer, kau mempercayainya. Ini bukanlah
kesalahan ataupun sesuatu yang salah.” Tambah Pelin.
“Bisakah orang menjadi buta melihat
sesuatu yang sama (kesalahan Sibel dan Elif) dua kali, Pelin? Aku tak bisa
memaafkan diriku sendiri untuk kasusnya Sibel... dan sekarang, Elif juga....”
Omer masih bertahan dengan amarahnya.
“Tapi kasusnya berbeda kali ini, Kawan!”
Sela Arda.
“Itu sama... sama...”Omer bersikeras.
“Saat aku membiarkan Elif masuk ke dalam hatiku, otakku berhenti bekerja. Aku
tak mampu menagkap si Anjing Metin dan aku tak bisa melindungi Elif.”
Omer akhirnya pergi meninggalkan Pelin
dan Arda.
Diam-diam, Huseyin mendatangi mobil
milik Taner yang masih berada di departemen forensik. Saat memeriksa, muncul
seorang petugas forensik. Mereka membuat kesepakatan soal Taner.
“Apa yang terjadi dengan laporan
mobilnya?”
“Laporannya ada disini, Pak. Jika kau
menandatanganinya, pekerjaan kami akan selesai.”
“Jangan! Kirim saja ke kantor sesuai
prosedur normalnya...”
“Baiklah!”
“Sudah jelas ada darah Taner di baju dan
mobilnya. Apa kau sudah menemukan sesuatu yang baru?”
“Ya, kami menemukannya, Pak.”
“Apa yang kau temukan?”
“Darahnya tidak cocok dengan DNA Ahmed
Denizer maupun Sibel Andac. Itu darah orang lain...”
“Apa semua itu tertulis di laporan yang
sedang kau pegang?”
“Tentu saja tidak, Pak. Disini tertulis
bahwa darah kedua korban ditemukan di mobilnya Taner Akcali. Aku sudah mencetak
apa yang sudah kau suruh dengan benar.”
Huseyin pun tersenyum. “Terima kasih.
Seorang tetangga membutuhkan tanah tetangganya (pepatah = harus saling tolong
menolong), Asdi! Hari ini aku butuh bantuanmu, dan esok aku akan
membantumu....”
Di dalam sel tahanannya, Taner terus
saja mondar-mandir lalu duduk berpikir. Tak berselang lama, seorang petugas
memberitahunya kalau ada yang mengunjunginya.
Rupanya yang datang ialah Omer.
Taner sangat tak menyangka.
Keduanya berbicara lewat telepon, karena
terhalang dinding kaca.
“Apa yang kau lakukan disini?” Tanya
Taner.
“Kita harus bicara.” Jawab Omer.
“Kita harus bicara? Bukankah kau sedikit
terlambat?”
“Kau yang butuh pertolonganku. Jadi
dengarkan aku. Kau akan membantuku, dan aku akan membantumu.”
“Ooooh.... apa kau tahu program
perlindungan saksi? Semua itu tak bisa membuatku bergerak kemanapun. Ibu
mertuaku telah meninggal. Aku tak tahu keadaan istriku. Mereka membutuhkanku di
sana tapi aku ada di penjara ini....” Taner marah-marah. “Siapa yang
bertanggung jawab atas semua ini Omer? Siapa? KAUUU! Kau menjebloskan orang
yang tak bersalah ke dalam penjara!”
“Makanya ceritakan padaku Taner! Katakan
kenapa pengakuanmu dengan Pinar bisa berbeda. Apa yang kau lakukan malam itu?
Ada 45 menit yang hilang. Apa yang kau lakukan dalam 45 menit itu? Selain soal
berlian yang ada bersamamu....”
“Aku sudah pernah bilang. Aku sudah
bilang semuanya. Aku menemukan berlian itu di lemari pakaian Asli. Di antara
gaun malam. Aku bersumpah padamu, aku tak tahu lagi selain itu. Aku tak tahu
kenapa berlian itu bisa ada di sana. Aku tak tahu Omer...” Jelas Taner.
Di saat yang bersamaan, diperlihatkan
FLASHBACK saat Huseyin dan para polisi yang lain menggeledah kamarnya Asli
setelah hari pembunuhan. Huseyin masuk ke kamar Asli, dan meletakkan sebutir
berlian merah muda dalam lemari. Dialah yang meletakkan berlian yang ditemukan
Taner.
Kembali ke Omer dan Taner.
“Oke. Aku mempercayaimu.”
“Aku tak berbohong.”
“Mungkin memang kau tak berbohong, tapi
yang pasti kau melewatkan sesuatu. Dimana kau dan Pinar malam itu saat
terjadinya pembunuhan? Karena ada waktu 45 menit kau menghilang dari rumah....”
“Aku tak bisa memberitahumu soal tempat
dimana aku malam itu. Oke? Tapi percayalah Omer. Aku tak membunuh Ahmed Denizer
maupun gadis itu. Harus berapa kali lagi aku bilang? Aku tak bersalah.” Taner
berteriak-teriak. Emosinya.
“Tenanglah. Mari kita membuat
kesepatakan. Kesepakatan yang jelas. Kau menolongku, aku akan membantumu.
Sekarang, atau tidak akan pernah. Oke?”
Taner menghela napas panjang. “Dengarkan
aku baik-baik! Ada orang lain yang juga sedang mencari berlian-berlian itu. Dia
telah mengikutiku. Dan menekanku. Dia berpikir kalau aku menyimpan semua
berlian itu. Kau akan membantuku,,,, dan aku akan memberitahumu siapa itu...”
“Siapa? Siapa pria itu? Apakah dia
pemilik berliannya?”
“Aku tak tahu. Mungkin dia pemilik
berliannya. Mungkin juga dialah sang pembunuh yang sebenarnya. Omer, aku hanya
bisa memberitahumu soal ini. Pria ini sangat berbahaya.”
Setelah itu Taner menutup teleponnya,
lalu pergi. Omer memanggilnya, namun Taner mengabaikannya.
“Taner, katakan siapa pria itu? Taner!"
Taner masuk ke dalam selnya. Omer kesal
di ruang kunjung, hingga ia memukul tembok dan menendang kursi. Setelah itu ia
keluar.
Tak disangka, Elif datang bersama
pengacaranya ke penjara. Omer dan Elif bertemu lagi di sana. Keduanya sebentar
bertatapan, namun Omer berlalu begitu saja di depannya. Omer memanggilnya, dan
mengejarnya. Elif lalu membicarakan bagaimana kelanjutan hubungan mereka.