Beranda · UTTARAN · FATMAGUL · EFSUN BAHAR· KAALI DAN GAURI· ARTIKEL AK· VEERA· ASHOKA· SERIAL TV

Sinopsis Cinta Elif ANTV Episode 22 Tayang Kamis 29 Oktober 2015



http://abadkejayaan-antv.blogspot.com/











Elif meninggalkan Omer begitu saja di pantai, setelah ia menceritakan semua rahasianya pada Omer, bahwa dia seorang kurir pencucian uang dan penyedia perhiasan palsu atas suruhan Metin. Meski Elif memberitahu kalau semua itu dilakukannya karena terpaksa (saat Metin menculik Nilufer), namun Omer masih saja tak bisa menerimanya. Elif meninggalkan Omer karena rasa bersalahnya. Omer pun tak mau mengejarnya. Dia terlihat marah, kecewa, namun juga tak tahu berbuat apa. Hatinya hancur.
 Elif pergi ke sisi barat pantai sembari menangis. Ia lalu berhenti sebentar, dan menengok ke belakang. 
 Ia melihat Omer pergi ke sisi timur (berlawanan arah). Itu artinya Omer benar-benar tak ingin mengejarnya. Elif semakin kecewa. Tangisnya pecah. Hingga ia tak sadar kalau ada pesepeda melintas di belakangnya, dan hampir saja tertabrak.



Saat Omer berjalan makin jauh dari Elif, ia mendapat telepon dari Arda. Ada kabar buruk.
“Ada apa Arda?” Tanya Omer.
“Apa Elif bersamamu?” Tanya balik Arda.
“Dia tak bersamaku.”
“Kami butuh bicara dengan Elif!”
Omer tampak penasaran dan menghentikan langkahnya, “Apa yang terjadi?”
“Kabar buruk, Kawan!”
“Apa yang terjadi? Bicaralah yang jelas!”
Arda lalu memberitahu Omer bahwa Zerrin meninggal dunia. Wajah Omer langsung pucat.


Sementara itu, Huseyin mengambil sekantong berlian dari kandang buruk, dan menyembunyikannya di saku. Saat akan masuk ke dalam rumah, ia ditabrak Melike yang sedang membawa pakan ayam. Huseyin marah-marah. 
 
 “Kau disini? Aku sumpah tak melihatmu. Aku baru saja akan memberi pakan ayam!” Melike merasa bersalah.
Sementara itu Huseyin sibuk membersihkan pakan ayam yang menempel di baju dan celananya. Saat Melike ingin membantu membersihkannya, Huseyin melarangnya. Dia takut kalau Melike mengetahui berlian di sakunya.
“Aku tak mengerti kenapa kau begitu marah. Ini sungguh ketidak-sengajaan! Ngomong-omong, apa yang kau lakukan disana (di kandang burung)? Apa yang kau kerjakan?” Tanya Melike.
 Huseyin kembali membentak Melike dengan ucapan kasar.
“Aku harus pergi. Apakah kau butuh sesuatu dari pasar?” Huseyin pamitan.
“Sausnya habis. Beli juga sedikit daging cincang....!” Jawab Melike.
 
 Hasan muncul dari lantai dua dan memanggil ayahnya. Hasan ingin ikut bersama Huseyin ke pasar, namun Huseyin melarangnya. Melike pun menyuruh Huseyin membawa Hasan bersamanya karena anaknya itu terus mengganggunya seharian. Huseyin kembali memarahi Melike, lalu ia turun ke jalan dan pergi begitu saja.


Di rumah sakit, seorang petugas keamanan menceritakan kronologis kematian Zerrin pada Tayyar.
“Nyonya Zerin masuk ke dalam ruang rawat Asli, dan kemudian terdengar teriakan dan ia jatuh terbentur. Asli mendorong ibunya sebelum perawat datang ke sana. Anak buahku sempat memberikan pertolongan, tapi Nyonya Zerrin sudah tak bisa diselamatkan.”
Tayyar lalu bertanya, “Apa kau sudah mengerjakan apa yang aku suruh? Apa kau sudah mengatur semua yang kuminta?”
“Tentu, Tuan. Petugas keamanan di rumah sakit ini juga berpikiran yang sama dengan kita. Kita sudah siap memberikan laporan.”
 Anak buah Tayyar yang lain lalu muncul. Tayyar bertanya, “Dimana Asli?”
“Dia mengunci dirinya dalam kamar, Tuan. Dia tak membiarkan siapapun masuk!”
Tayyar tampak marah, “Bagaimana bisa kau berbuat seperti ini?”
“Ketika kami paksa, dia berubah histeris. Kami pun pergi dan menungguinya di depan bintar agar dia bisa tenang...”
Tayyar lalu mengolok dan membentak anak buahnya, “Good job! Kerja yang bagus. Bagus sekali....”
Tayyar pun berlalu untuk menemui Asli.
 

Di pantai, Omer berbalik arah dan mencari Elif. Namun Elif sudah pergi.
“Dimana kau Elif? Dimana kau?”
Omer mencoba meneleponnya. Elif tak mau mengangkatnya karena sedang menyetir dan ia masih saja menangis.

 

Kembali ke rumah sakit. Asli sendirian di kamar rawatnya. Ia lalu membuka jendela, dan melihat pemandangan di bawah sana. Wajahnya diselimuti kesedihan dan amarah pada dirinya sendiri (karena ia telah membunuh ibunya). Asli pun mencoba loncat dan mengakhiri hidupnya.
Di luar, seorang perawat terus mengetuk pintu dan memanggil Asli. Tak lama kemudian, Tayyar datang bersama seorang pengawalnya. 
 “Apa yang terjadi?” Tanya Tayyar.
“Tuan Tayyar, dia mendorongku ke luar lalu mengunci pintunya. Aku tak bisa menghentikannya. Dia berteriak kalau dia ingin melompat dari jendela...”
 Tayyar menyuruh pengawalnya mendobrak pintu. Sementara itu Asli sudah ancang-ancang meloncat di jendela. Setelah pintu terbuka, Tayyar berteriak pucat memanggil nama Asli.


Dua polisi menyuruh Metin turun dari mobilnya (di tepi jalan raya). Nilufer ikut turun dari mobil dan mengejarnya.
 
 “Tunggu aku!” Ucap Nilufer.
“Sayang. Aku pergi dengan polisi-polisi ini. Tak ada yang mengharuskanmu untuk iku,” Metin menolak.
Saat Metin masuk ke dalam mobil polisi, Nilufer nekat masuk juga. “Aku ikut!”
“Nilufer, bawa mobilnya dan pulanglah ke apartamenku. Jelas ini Cuma kesalahpahaman. Oke, tuan putri? Pergila!”
“Tak mau.”
 Metin tak bisa berbuat apa-apa. Para polisi itupun akhirnya pergi dengan membawa Nilufer juga.


Hatice pulang ke rumah. Nyonya Fatma terkejut setengah mati. Mereka lalu berpelukan. Hatice menangis.
 “Anakku... anakku! Putriku. Apa yang terjadi? Apa yang terjadi, sayang?”
“Aku melihat polisi....”
Nyonya Fatma menyela, agar Hatice berhenti bicara karena ayahnya bisa mendengar. Mereka lalu masuk ke ruang tamu.
“Polisinya ternyata orang-orangnya Metin, Bu! Aku ketakutan sekali saat mereka menghentikanku. Aku pikir mereka akan menangkapku.”
“Baiklah putriku... jangan menangis...”
“Aku tak bisa melakukannya. Kutinggalkan koper itu lalu aku melarikan diri, Bu! Maafkan aku.”
“Oh anakku. Apa yang akan kita lakukan sekarang? Kita terima saja takdir kita, sayang!”
“Apa yang akan dilakukan Metin nantinya, Bu?”
“Jangan cemaskan itu. Jangan takut. Aku akan menanganinya....”

 

Di kamar rawatnya, Asli dipegangi Tayyar dan terus saja berteriak “Aku tak mau hidup lagi! Aku sudah membunuhnya (ibunya).”
“Dengarkan aku!”
“Aku tak bisa lagi hidup. Biarkan aku mati. Aku tak berhak lagi untuk bernapas! Aku telah membunuhnya. Aku membunuh ibuku.....”
“Cukuuuup!” Sentak Tayyar. “Kau tidak membunuh siapapun. Itu kecelakaan. Kau tak membunuh ibumu.”
“Tidak, Paman Tayyar. Akulah yang mendorongnya. Akulah yang mendorong ibuku sendiri.”
Tayar lalu memeluk Asli dan menenangkannya.
 “Apa yang sudah kulakukan pada ibuku? Ya Tuhan.... apa yang sudah kulakukan! Ibu.....!” Asli menjadi lebih histeris.
Perawat datang membawa suntikan obat penenang dan menyuntikannya di lengan Asli. Perlahan, Asli mulai tenang namun tetap sadarkan diri.
Saat Asli di bawa ke tempat tidurnya. Tayyar menyuruh perawatnya untuk terus memberinya obat penenang. 
 Asli kembali menangis. “Apa yang harus kukatakan pada Elif? Aku telah membuat adik-adikku kehilangan ibunya. Apa yang harus kulakukan?”


Tayyar keluar meninggalkan kamar rawatnya Asli. Dia memerintahkan pengawalnya untuk melarang siapapun masuk ke dalam sana tanpa seizinnya.
“Jika polisi ataupun keluarganya Elif datang, mereka harus menemuiku terlebih dulu. Paham?”
“Ya, Tuan!”
“Sekarang suruh semua pegawai yang bertugas di lantai ini mulai dari penjaga, dokter, perawat, tukang bersih-bersih, semuanya, untuk datang menemuiku di kantor! Suruh juga dokter bodoh yang tak memberi Asli obat penenang ke kantor, agar aku bisa memeriksa sel otaknya dan melihat apakah otaknya bekerja dengan baik!” Tayyar benar-benar marah.


Di jalan raya, Arda dan Pelin berada dalam satu mobil untuk menjemput Omer. Pelin mengeluhkan cara Arda menyetir mobil yang lambat seperti gadis. Keduanya pun berdebat. Hingga mereka melihat Omer di tepi jalan. 


Omer pun lalu masuk dan duduk di jok belakang.
 “Apa sudah pasti bahwa Nyonya Zerrin sudah meninggal? Aku harap itu kesalahan!” Kata Omer.
“Akupun berharap sama, tapi kabar yang kami terima, jenazahnya sudah ada di kamar jenazah.” Jawab Pelin.
“Apa sudah ada ivenstigasi?” Tanya Omer.
“Tak ada. Petugas keamanan rumah sakit melapor kalau itu kecelakaan.” Sahut Arda.
“Kecelakaan macam apa?” Omer penasaran.
“Kita akan mengerti nanti. Kita harus segera kesana, agar kita bisa berada di samping Elif seandainya dia sudah ada di sana....” Kata Pelin. “Betapa tidak beruntungnya. Elif pasti sedang hancur. Dia dan saudari-saudarinya.....”
“Bukankah Elif bersamamu, Bro?” Tanya Arda.
“Dia tak bersamaku saat kau meneleponku.” Jawab Omer.
Arda melihat sepertinya Omer dan Elif sedang punya masalah.
“Lihatlah nasibnya Elif!” Ujar Pelin.
“Ini sungguh hari yang berat untuk keluarga Denizer!” Tambah Arda. “Tak diragukan lagi. Elif pasti hancur saat mendengar kabarnya....”
Memikirkannya, Omer semakin khawatir dan risau akan Elif.


Di salah satu pos polisi yang ada di sudut kota Istanbul, Metin dan Nilufer disuruh menunggu di sebuah ruangan seperti ruang kerja. Metin duduk berusaha tenang. Sedangkan Nilufer terus saja mondar-mandir cemas di depannya.
 “Berhenti wira-wiri dan duduklah, Nilufer! Kau bisa menciptakan embusan angin....!” Seru Metin.
“Bagaimana bisa kau setenang ini? Mereka akan menahanmu!”
“Bagus. Duduklah di depanku agar aku bisa memandangi wajahmu. Biarkan aku mengenang wajah cantikmu!”
“Ayo kita kabur saja!”
“Jangan konyol!”
Seorang polisi lalu masuk untuk mengambil surat-surat. Metin menanyainya.
 
 “Apa yang kami tunggu?” Tanyanya.
“Rekan-rekanku sedang mengurusnya, mereka akan segera memberitahumu. Mereka sedang memburu orang yang identitasnya telah dilaporkan pada kami.” Jawab Polisi itu.
“Siapa yang lapor?”
“Elif Denizer!”
Wajah Metin langsung pucat. Begitupun Nilufer.
“Apa yang harus kita lakukan?” Tanya Nilufer.
“Kita harus menunggu dengan tenang, Oke!”

 

Omer, Arda, dan Pelin diantar seorang petugas keamanan rumah sakit masuk ke dalam ruang rawat Asli sebelumnya, tempat Zerrin terjatuh hingga tewas.
“Seorang perawat mengingatkan Nyonya Zerrin untuk berhati-hati saat masuk ke ruangan karena lantainya basah. Lau Nyonya Zerrin masuk, dan kembali untuk menutup pintu... kakinya terpeleset dan kepalanya membentur jendela.” Tutur petugas itu.
 Omer lalu melihat ada kamera CCTV di atap. Di saat yang bersamaan Tayyar ikut masuk.









“Apa kau punya rekaman kamera CCTV?”
“Sayangnya tidak. Nyonya Zerrin menyuruhku untuk mematikan semua kamera pengawas di kamarnya Asli, orong, dan lif masuk untuk menjamin privasi dari para media. Aku sudah bilang ke dia kalau dia itu paranoid, tapi dia tak mau mendengar dan aku tak bisa menolak permintaannya.” Tayyar menjelaskan.
“Oke, bagaimana kau bisa menyimpulkan dengan cepat kalau semua itu adalah kecelakaan?” Tanya Pelin. Sementara itu Omer terus memeriksa setiap sudut kamar.
“Ada seorang saksi mata saat kecelakaan itu terjadi. Ada darah di jendela dan lantai. Ada bekas goresan hak sepatu di tempat dia terjatuh... jarak antara jejak sepatunya dengan tempat kepalanya terbentur pun masuk akal. Setelah kita kami menanyai beberapa pegawai di lantai ini yang menemukan Nyonya Zerrin. Mereka memastikan bahwa tak ada orang asing yang masuk ke lantai ini.”Kata petugas keamanan.
Tayyar menambahkan, “Para dokter sudah berusaha menyelamatkan Zerrin selama setengah jam, tapi mereka tak berhasil....”
Tayyar tampak sedih. “Aku kehilangan sahabatku satu per satu selama 40 tahun persahabatan. Aku benar-benar terguncang. Permisi!”
 Tayyar keluar, dan bersedih di sana.
Omer ikut keluar dan mengucapkan belasungkawanya. 
 
 “Apakah nyonya Asli ada di kamarnya selama insiden terjadi?” Tanya Arda.
“Dia dirawat secara intensif sejak kemarin. Dia diberi obat penenang karena kondisinya memburuk.” Kata Tayyar.
“Apa kau sudah menghubungi Elif?” tanya Omer.
“Sayangnya belum. Bahar dan aku terus saja menghubunginya. Tapi dia tak juga menjawab telepon kamu. Aku sangat mengkhawatirkannya sekarang. Dia tak biasanya bertingkah seperti ini. Apa kau tahu dimana dia?” Tayyar malah bertanya balik pada Omer. “Maksudku, kalian berdua menjadi teman dekat selama investigasi. Itu kenapa aku bertanya seperti itu.”
“Aku tak tahu dimana dia. Aku tak bisa menemukannya.”
 “Tolong beritahu aku saat kau menemukannya. Aku tak bisa menemukan Nilufer juga. Aku ingin mereka datang menemani kakaknya.”
Omer, Arda, dan Pelin pun akhirnya pergi meninggalkan Tayyar.


Kembali ke pos polisi. Metin dan Nilufer masih sabar menunggu.
“Kenapa tak ada seorangpun yang bisa memberitahu kita sesuatu?” Tanya Nilufer.
“Keja lamban selalu terjadi di fasilitas pemerintahan. Seseorang akan segera datang!” Metin menyuruhnya sabar.
“Aku tak bisa bertahan lagi. Aku akan pergi.”
“Kemana?”
“Untuk memberikan pernyataanku. Aku akan bilang ke para polisi di luar sana, jadi mereka tak harus menunggu kakakku seperti ini. Aku Nilufer Denizer, dan aku akan bilang kau tidak menculikku...”
“Itu tidak mungkin.”
“Apa yang akan kulakukan jika mereka menahanmu?”
“Nilufer, jangan aneh-aneh, kumohon. Itu sungguh tidak mungkin.”
“Saat Elif datang, kakaku akan bilang bahwa kaulah orang yang menculik kami. Dan mereka akan menahanmu. Apa yang harus kuperbuat kemudian?”
“Tinggalkan aku. Sepakat?”
Nilufer tak mau, lalu memeluk Metin.
 Di suatu tempat, Huseyin mendatangi sebuah apartemen kelas menangah. Dia dipanggil “Tuan Cihat” oleh seorang pria yang mengenalnya. Sepertinya mereka bertenggaan. 
 Rupanya Huseyin punya rumah dan keluarga lain (yang ia rahasiakan dari siapapun). Dia masuk ke rumahnya itu, lalu menghampiri kamar anak lelakinya. 

 Setelah mencari tempat yang aman, akhirnya Huseyin menemukan keranjang bayi yang diletakkan di atas lemari. Huseyin lalu menyembunyikan semua berliannya ke dalam keranjang bayi itu. Namun sebutir berlian diambilnya dan dimasukkan ke dalam kantong.

 
 

Di ruang tamu, seorang perempuan Rusia berambut pirang sedang duduk bersama anak lelakinya berusia 6 tahun. Mereka adalah istri simpanan Huseyin dan anak ketiganya. Mereka tampak bahagia. Tak ada siapapun yang mengetahui bahwa Huseyin memiliki kehidupan ganda. Satu keluarga bersama Melike dengan dua anaknya, dan yang kedua bersama perempuan Rusia dengan satu anak lelaki di apartemen mewah.


Kembali ke pos polisi. Akhirnya para polisi menemui Metin dan Nilufer. Seorang polisi memberitahu Metin, “Kami telah melihat identitasmu di pusat data kami. Kami melakukan penyelidikan kecil. Maafkan kami, karena para petugas kami telah menangkap orang yang salah. Tak perlu lagi proses identifikasi. Kalian berdua bisa pergi sekarang!”
Metin dan Nilufer pun akhirnya bisa meninggalkan pos polisi.
 “Bagaimana bisa kau menyelesaikan semua ini?” Tanya Nilufer.
“Aku punya relasi dengan para petinggi....”
 Lagi-lagi keduanya bertengkar soal video. Namun dengan cepat mereka berbaikan kembali. Metin lalu mencegat taksi dan Nilufer pergi dengan taksi itu.


Omer menghubungi Hulia untuk mengabarinya jika Elif sudah pulang. Omer lalu pergi sendirian dengan mobilnya untuk mencari Elif.


Metin datang ke perusahaannya. Dia tampak stress dan saki kepala. Meti menanyakan anak buahnya soal Taner. Namun anak buahnya menceritakan soal Hatice yang kabur meninggalkan uang dan kopernya begitu saja di bandara saat tahu ada polisi yang hendak menangkapnya. Metin menjadi marah, dan langsung pergi dengan mobilnya sembari menelepon seseorang. Rupanya dia menelepon Elif.
Elif berada di pinggir jalan saat Metin meneleponnya. 
 
 “Halo rekanku!”
“Ada apa?”
“Kurir baru kami benar-benar tak berguna. Sekarang kau yang mengambil alih. Singkatnya, kau akan pergi ke Roma lagi. Uang-uang ini harus dikirim besok, jadi aku akan memesankan tiketmu.”
“Cukup! Aku sudah muak denganmu, apa kau mengerti?”
“Haruskah kukirim video itu (rekaman saat Elif melakukan transaksi pencucian uang di bank Roma) ke pacar polisi tersayangmu?” Ancam Metin.
“Jangan ragu! Kirim saja sekarang! Kirim! Tak masalah buatku!” Sentak Elif
Metin terheran-heran.


Omer menyetir mobilnya di jalan raya. Dia mengingat perkataan Elif tentang tatonya ‘Cinta Tak Bersyarat’. Saat itu Omer bertanya, apakah Elif sudah menemukan Cinta Yang Tak Bersyarat.
Elif sendiri sedang berada di pemakaman. Ia berat melangkah, dan kembali perkataan Omer tentang kejujuran. Elif juga mengingat saat Omer menciumnya di hotel semalam. Air matanya kembali meleleh.


Di dalam selnya yang gelap, Taner duduk sendirian. Melamun. Seorang petugas lalu masuk membawa makanan. Taner sibuk sendiri. Ia mengingat-ingat kejadian saat dua orang menghajarnya malam itu, dan mereka menanyakan berlian. Taner lalu mengingat perkataan Pinar tentang betapa bahayanya Tayyar. Taner akhirnya mengerti kalau Tayyar mengetahui soal berlian itu.
Taner memanggil petugas yang mengantarkan makanan.
“Aku harus bicara dengan Tuan Tayyar!”
“Kau memerintahku? Apa ada perintah lain? Beginilah tingkah orang kaya!” Ledek petugas itu yang kemudian pergi dan menutup pintu selnya Taner.
 
 “Pak penjaga! Pak Penjaga! Aku harus bicara dengan Tayyar Dundar!”


Di kantornya, tayyar sedang bicara dengan ikan-ikan piranhanya yang berada di dalam aquarium. Seorang anak buahnya lalu datang memberitahu bahwa Metin telah datang. Tayyar pun bersiap menemuinya.


Di tengah laut, di dalam kapal, Pinar yang terborgol berusaha melepaskan diri. Pergelangan tangannya sampai memerah dan berdarah. Tubuhnya lemas.


Tayyar menemui Metin di ruang rahasia, bawah tanah rumah sakitnya.
“Apa aku membuatmu menunggu, keponakanku yang tampan? Apa kau punya kabar bagus? Ayo katakan!”
“Jangan bertingkah seolah kau belum mendengarnya saja, paman!”
“Aku sudah dengar. Aku sudah dengar. Terima kasih tuhan, kau berhasil memecahkan rekor dunia untuk kegagalanmu hari ini. Taner lolos dari genggamanmu. Dan kurir barumu telah mengacaukan bisnis kita.”
“Aku telah mengirim seseorang ke dalam sel tahanannya Taner. Mereka akan melakukan pekerjaannya dan menyelesaikan masalah ini.”
“Benarkah?”
“Aku akan membawanya ke luar negeri minggu ini. Jangan takut!”
“Sungguh?”
Tayyar lalu menunjukkan kamera handycam yang ia temukan di apartemennya Metin. Ia perlihatkan isi rekaman Metin dan Nilufer yang sedang bercinta.
Metin tampak shock.
“Ambillah! Ambillah! Jangan ragu! Tontonlah penampilan-oscar-mu ini...!” Suruh Tayyar.
Metin pun mengambil handycamnya.
“Paman, ini tak seperti yang kau pikirkan. Aku serius tentang Nilufer.”
“Lalu apa ini? Apa ini? Tidakkah kau melakukan perbuatan menjijikkan seperti ini? Aku percayakan padamu gadis ini. Bagaimana bisa kau berani berbuat seperti itu? Heh?” Tayyar marah-marah. “Pikiranmu serius? Serius?”
“Kenapa kau begitu marah seperti ini? Gadis ini single dan mencintaiku Gadis ini tak punya kekasih... “
Tayyar memikirkan soal Mert, yang juga mencintai Nilufer. Tayyar pun mengancam Metin, “Jika kau mendekati Nilufer lagi, aku akan membuatmu menyesal karena telah meminum air susu ibumu. Jiwa siapapun akan terluka, Metin. Dan yang paling terluka, adalah kau.”
“Aku mencintai gadis itu!”
“Diam kau! Siapa kau hingga berani mencintai Nilufer? Lihat dirimu dan lihatlah Nilufer! Siapa kau? Heh! Siapa dirimu ini?”
Metin hanya melotot menahan amarahnya. Tayyar lalu melanjutkan ucapannya, “Jika kau punya pekerjaan, itu semua karena aku. Bahkan jika kau punya uang untuk membeli celana dalam, itupun karena diriku. Setiap napasmu berhutang padaku. Kau akan mengikuti perintahku dan hidup seperti keinginanku. Mengerti? Mengerti? Beraninya kau mengkhianati kepercayaanku! Beraninya kau!”
 Tayyar lalu menyuruh Metin meletakkan tangannya di depannya. Tayyar sudah mengambil palu sebelumnya.
“Letakkan tanganmu disitu!”
Metin akhirnya meletakkan jemari tangannya.
“Jari mana yang kau gunakan untuk menyentuh Nilufer? Yang mana? Huh? Kau tidak akan pernah menyentuh Nilufer lagi!” Tayyar akhirnya memukulkan palu itu ke jemari Metin.
Ahhh sadisss! Sebelum pergi, Tayyar menyuruh Metin membawakan Taner di depannya dalam satu hari.


Di pemakaman, Elif berdiri di depan kuburan ayahnya.
“Terakhir aku kesini saat pemakamanmu, Ayah! Aku tak pernah lagi datang kesini sejak hari itu karena aku marah padamu. Kau menyembunyikan banyak orang dalam hidupmu yang tak kuketahui. Apa kau tahu? Aku mencintai seseorang untuk pertama kalinya. Aku mempercayai seseorang untuk pertama kalinya. Aku jatuh cinta pada seseorang untuk pertama kalinya. Aku telah memimpikan masa depan bersamanya. Tapi hari ini semua itu berakhir. Aku kehilangan dirinya. Aku sungguh marah padamu. Kau tidak Cuma mengambil masa mudaku. Kau juga telah membunuh masa depanku, Ayah. Tapi kau tahu apa yang paling? Aku sungguh membutuhkanmu saat ini.”
 
 Elif menangis dan duduk di kuburan ayahnya. “Aku sungguh membutuhkanmu. Jika kau disampingku sekarang, kau bisa memelukku dan membelai rambutku. Dan kau akan bilang, semua ini akan berlalu, anakku! Agar aku bisa punya kekuatan untuk melanjutkan hidup. Tapi semua itu telah terlambat. Aku sekarang sudah sepertimu. Kumohon padamu ayah,,,, pegang tanganku! Pegang tanganku dan tolonglah aku.... kumohon pegang tanganku Ayah!”
 
 Omer muncul di belakang Elif. Elif terkejut.
Omer mengulurkan tangannya. Elif pun menggenggamnya dan berdiri.
“Bagaimana kau bisa menemukanku?” Tanya Elif.
“Aku berusaha mencarimu. Bahar juga berusaha menemukanmu. Tapi kau tak menjawab teleponmu.”
“Aku tak mendengar bunyinya....itu tidak lagi penting kau kau sudah ada disini....apa kau kesini untuk bicara? Percayalah Omer. Aku siap melakukan apapun yang kau katakan nanti. Kuakui semua kesalahanku, dan aku siap menebus semuanya....”
“Elif, aku kesini untuk bukan membicarakan hal itu.”
Elif penasaran, “Kenapa kau kesini?”
“Aku punya kabar buruk untukmu.”
“Apa yang terjadi?”
“Kecelakaan apa?”
“Asli?”
“Tak terjadi apa-apa pada Asli!”
Elif tenang. Namun penasaran, “Lalu apa yang terjadi?”
 “Kami telah kehilangan ibumu... aku turut berduka...”
“Jangan bercanda! Apa maksudmu dengan kami kehilangan ibumu?”
“Saat ibumu menjaga Asli di rumah sakit. Dia terlepeset dan kepalanya terbentur. Mereka berusaha menyelamatkannya, namun tak berhasil.”
“Omer, jangan bersikap yang tidak masuk akal. Tanah kuburan ayahku belum kering... bagaimana bisa aku kehilangan ibuku juga, Omer?” Elif menangis. “Ibuku tak boleh mati, Omer. Dia tak boleh mati. Kau pasti bohong!”
 
 Omer pun memeluk Elif untuk menenangkannya. Elif benar-benar terpukul. Tangisnya pecah dan hatinya hancur.
Keesokan harinya, Zerin dikuburkan. Nilufer terus saja menangis di pelukan Elif. Omer dan Arda tampak sibuk mengubur tanah ke kuburan Zerin. 
 
 

 Omer sangat tak tega melihat Elif. 
 
 
Setelah itu ia menemui Elif dan mengucapkan belasungkawa.
 
 
 Seluruh keluarga Omer pun datang. Mereka berurutan mengucapkan belasungkawa pada Elif. 
 Di tempat terpisah, Asli masih tertidur dan tak sadarkan diri di rumah sakit.
 Setelah semua pelayat pergi, Elif mendekati kuburan ibunya dan menangis di sana dengan ditemani Tayyar Dundar. Omer terus saja memperhatikan Elif dari kejauhan. Omer tampak tak tega.

 

Omer, Arda, dan Pelin, sedang berada di sebuah kafe. Arda dan Pelin bertanya kenapa Omer seperti sedang menjauhi Elif, padahal sekarang Elif sangat membutuhkan kehadirannya. Setelah dipaksa Arda dan Pelin, akhirnya Omer memberitahu alasan mereka. Bahwa Elif seorang pencuci uang haram. Itu kenapa dia sangat kecewa pada Elif saat ini.


Elif menemui Asli di rumah sakit. Asli masih saja tak bangun-bangun. Elif mengatakan sesuatu padanya.
“Kakakku sayang. Hari ini kita mengucapkan perpisahan pada ibu kita. Dia tidak bersama lagi dengan kita. Ibu telah bersatu dengan ayah. Mereka berdua telah tiada. Kumohon, kerahkan tenagamu! Kita ditinggal sendirian. Kami sangat membutuhkanmu.”
Tayyar datang. Elif memeluknya. “Paman Tayyar, berapa lama lagi dia akan tertidur? Apa mereka menyuntikkan obat begitu banyak?”
“Kau benar sekali. Tapi kami terpaksa melakukannya. Dia harus melalui semua ini. Kita terpaksa membiusnya agar dia tidak melukai dirinya sendiri. Dia hampir saja meloncat dari jendela. Kau tahu itu? Kami sudah berkonsultasi dengan dokter dari Amerika. Dia akan datang kemari. Dia akan meresepkan dosisnya. Jadi jangan mengkhawatirkannya!”
“Baiklah. Lakukanlah apapun yang dibutuhkan selama masih di bawah kontrol.”
“Baiklah! Jangan cemas!” Ucap Tayyar, yang lalu pergi keluar.
Elif kembali mendekati Asli dan mencium hidung kakaknya itu sembari menangis.


Di lorong rumah sakit, Elif kembali menemui Tayyar.
“Taner juga di penjara. Jika dia disini, setidaknya dia bisa membantu Asli!” Ujar Elif.
“Apa Taner baik-baik saja? Tempatnya akan terlihat sangat kecil baginya selama dia ada di sana. Kedaan seperti itu tak akan pernah ia sangka. Beritahu aku jika dia butuh seorang pengacara.”
Elif lalu mengingat perkataan Omer, kalau Taner berselingkuh dengan Pinar. Elif pun sangat takut kalau Tayyar mengetahui soal itu.
“Tak perlu. Tak butuh pengacara, Paman Tayyar! Aku juga belum mengunjunginya sama sekali. Hari ini aku akan kesana. Aku tidak tahu apa yang harus kuperbuat dan bagaimana aku akan mengatasi semua ini.”
“Apa kau berpikir kalau Taner seorang pembunuh?”
“Aku tak tahu, Paman. Aku tak tahu.” Elif menutupi wajahnya. “Aku berdoa pada Tuhan semoga saja bukan dia. Aku berhenti memikirkan tentang kami sekarang. Ibu, ayah, dan Taner? Asli tak akan mampu menghadapi semua ini.”
“Kau benar. Kau benar.”
“Bagaimana keadaan Pinar? Dia tak datang saat pemakaman!”
“Dia baik-baik saja. Dia berada di rumah ibunya.”
 

Di tengah laut, di dalam kapal, kondisi Pinar semakin lemah. Dia kehausan. Ia lalu melihat ata tetesan air hujan di atap. Pinar membuka mulutnya dan menangkap tetes-tetesan itu untuk mengobati dahaganya.

 
 

Kembali ke Omer, Arda, dan Pelin yang berada di kafe tepi dermaga.
“Aku sungguh tak menyangka kenyataan seperti ini datang dari Elif. Aku benar-benar tak menyangka.” Ujar Omer.
“Apa ini yang membuatmu begitu terkejut?” Tanya Pelin. “Kita tahu bahwa Metin telah mengancam Elif. Adiknya saat itu ada di genggaman Metin. Dia melakukan semua itu untuk melindungi keluarganya. Kepeduliannya bukanlah keburukan. Sebenarnya, dia juga korban. Kau tidak memikirkannya lewat cara pandang yang lain, Omer! Kau lebih mengenalnya dibandingkan kita. Dia bukanlah tipe gadis yang sanggup melakukan kejahatan.”
“Tapi dia sudah melakukannya, Pelin. Dia telah melakukannya. Dia sudah menyelesaikannya. Aku bersamanya saat itu. Aku benar-benar Marah pada Elif!” Jawab Omer. “Aku sudah menanyainya saat di Roma, ketika aku mencurigainya. Aku memintanya, jika mereka menyuruhnya melakukan pencucian uang haram, jangan mau melakukan perbuatan bodoh itu. Aku bisa menolongnya.”
“Tapi dia sedang diancam dengan nyawa adiknya sebagai taruhan. Bagaimana bisa dia langsung mempercayai seorang pria yang baru dikenalnya dalam dua hari (yang dimaksud Pelin adalah Omer)? Dia mungkin berpikiran, bisa jadi kau seorang polisi korup. Bisa jadi kau pria yang bekerja dengan Metin. Pikirkanlah tentang adiknya yang bisa saja mati jika Elif membuat sedikit kesalahan saja. Lihatlah masalah ini lewat matanya Elif (cara pandangnya Elif) dan tempatkan dirimu dalam sepatunya.”
“Percayalah padaku, hari itu aku tak melakukan apapun, Pelin! Aku tak menyalahkan Elif. Sebetulnya, aku marah pada diriku sendiri.” Tutur Omer.
“Apa yang kau temukan hingga kau menyalahkan dirimu lagi saat ini?” Tanya Arda.
“Bagaimana bisa aku tak melihatnya, Kawan? Bagaimana bisa aku tak melihatnya? Segalanya terjadi dan berakhir di depanku. Aku sudah tahu kalau dia menyembunyikan sesuatu sejak awal. Tapi apa yang kulakukan? Aku mengabaikannya jauh di belakang, lalu melupakan semua itu.” Omer menjelaskan.
“Kawan, dengarkanlah! Kau terkadang lupa bahwa kau hanyalah manusia. Oke, kau sungguh polisi yang hebat tapi kau sejatinya Cuma manusia. Maksudku, semua ini bisa terjadi. Itu mungkin kau melewatkan sesuatu. Itu mungkin kau membuat kesalahan.” Arda menasehatinya.
“Omer, kau mempercayainya. Ini bukanlah kesalahan ataupun sesuatu yang salah.” Tambah Pelin.
“Bisakah orang menjadi buta melihat sesuatu yang sama (kesalahan Sibel dan Elif) dua kali, Pelin? Aku tak bisa memaafkan diriku sendiri untuk kasusnya Sibel... dan sekarang, Elif juga....” Omer masih bertahan dengan amarahnya.
“Tapi kasusnya berbeda kali ini, Kawan!” Sela Arda.
“Itu sama... sama...”Omer bersikeras. “Saat aku membiarkan Elif masuk ke dalam hatiku, otakku berhenti bekerja. Aku tak mampu menagkap si Anjing Metin dan aku tak bisa melindungi Elif.”
Omer akhirnya pergi meninggalkan Pelin dan Arda.

 

Diam-diam, Huseyin mendatangi mobil milik Taner yang masih berada di departemen forensik. Saat memeriksa, muncul seorang petugas forensik. Mereka membuat kesepakatan soal Taner.
“Apa yang terjadi dengan laporan mobilnya?”
“Laporannya ada disini, Pak. Jika kau menandatanganinya, pekerjaan kami akan selesai.”
“Jangan! Kirim saja ke kantor sesuai prosedur normalnya...”
“Baiklah!”
“Sudah jelas ada darah Taner di baju dan mobilnya. Apa kau sudah menemukan sesuatu yang baru?”
“Ya, kami menemukannya, Pak.”
“Apa yang kau temukan?”
“Darahnya tidak cocok dengan DNA Ahmed Denizer maupun Sibel Andac. Itu darah orang lain...”
“Apa semua itu tertulis di laporan yang sedang kau pegang?”
“Tentu saja tidak, Pak. Disini tertulis bahwa darah kedua korban ditemukan di mobilnya Taner Akcali. Aku sudah mencetak apa yang sudah kau suruh dengan benar.”
Huseyin pun tersenyum. “Terima kasih. Seorang tetangga membutuhkan tanah tetangganya (pepatah = harus saling tolong menolong), Asdi! Hari ini aku butuh bantuanmu, dan esok aku akan membantumu....”


Di dalam sel tahanannya, Taner terus saja mondar-mandir lalu duduk berpikir. Tak berselang lama, seorang petugas memberitahunya kalau ada yang mengunjunginya. 
 
 Rupanya yang datang ialah Omer. Taner sangat tak menyangka.
Keduanya berbicara lewat telepon, karena terhalang dinding kaca.
 
 “Apa yang kau lakukan disini?” Tanya Taner.
“Kita harus bicara.” Jawab Omer.
“Kita harus bicara? Bukankah kau sedikit terlambat?”
“Kau yang butuh pertolonganku. Jadi dengarkan aku. Kau akan membantuku, dan aku akan membantumu.”
“Ooooh.... apa kau tahu program perlindungan saksi? Semua itu tak bisa membuatku bergerak kemanapun. Ibu mertuaku telah meninggal. Aku tak tahu keadaan istriku. Mereka membutuhkanku di sana tapi aku ada di penjara ini....” Taner marah-marah. “Siapa yang bertanggung jawab atas semua ini Omer? Siapa? KAUUU! Kau menjebloskan orang yang tak bersalah ke dalam penjara!”
“Makanya ceritakan padaku Taner! Katakan kenapa pengakuanmu dengan Pinar bisa berbeda. Apa yang kau lakukan malam itu? Ada 45 menit yang hilang. Apa yang kau lakukan dalam 45 menit itu? Selain soal berlian yang ada bersamamu....”
“Aku sudah pernah bilang. Aku sudah bilang semuanya. Aku menemukan berlian itu di lemari pakaian Asli. Di antara gaun malam. Aku bersumpah padamu, aku tak tahu lagi selain itu. Aku tak tahu kenapa berlian itu bisa ada di sana. Aku tak tahu Omer...” Jelas Taner.
Di saat yang bersamaan, diperlihatkan FLASHBACK saat Huseyin dan para polisi yang lain menggeledah kamarnya Asli setelah hari pembunuhan. Huseyin masuk ke kamar Asli, dan meletakkan sebutir berlian merah muda dalam lemari. Dialah yang meletakkan berlian yang ditemukan Taner.
Kembali ke Omer dan Taner.
“Oke. Aku mempercayaimu.”
“Aku tak berbohong.”
“Mungkin memang kau tak berbohong, tapi yang pasti kau melewatkan sesuatu. Dimana kau dan Pinar malam itu saat terjadinya pembunuhan? Karena ada waktu 45 menit kau menghilang dari rumah....”
“Aku tak bisa memberitahumu soal tempat dimana aku malam itu. Oke? Tapi percayalah Omer. Aku tak membunuh Ahmed Denizer maupun gadis itu. Harus berapa kali lagi aku bilang? Aku tak bersalah.” Taner berteriak-teriak. Emosinya.
“Tenanglah. Mari kita membuat kesepatakan. Kesepakatan yang jelas. Kau menolongku, aku akan membantumu. Sekarang, atau tidak akan pernah. Oke?”
Taner menghela napas panjang. “Dengarkan aku baik-baik! Ada orang lain yang juga sedang mencari berlian-berlian itu. Dia telah mengikutiku. Dan menekanku. Dia berpikir kalau aku menyimpan semua berlian itu. Kau akan membantuku,,,, dan aku akan memberitahumu siapa itu...”
“Siapa? Siapa pria itu? Apakah dia pemilik berliannya?”
“Aku tak tahu. Mungkin dia pemilik berliannya. Mungkin juga dialah sang pembunuh yang sebenarnya. Omer, aku hanya bisa memberitahumu soal ini. Pria ini sangat berbahaya.”
Setelah itu Taner menutup teleponnya, lalu pergi. Omer memanggilnya, namun Taner mengabaikannya.
“Taner, katakan siapa pria itu? Taner!"
 Taner masuk ke dalam selnya. Omer kesal di ruang kunjung, hingga ia memukul tembok dan menendang kursi. Setelah itu ia keluar.
 Tak disangka, Elif datang bersama pengacaranya ke penjara. Omer dan Elif bertemu lagi di sana. Keduanya sebentar bertatapan, namun Omer berlalu begitu saja di depannya. Omer memanggilnya, dan mengejarnya. Elif lalu membicarakan bagaimana kelanjutan hubungan mereka.




SINOPSIS SHEHRAZAT ANTV


Artikel keren lainnya: