Beranda · UTTARAN · FATMAGUL · EFSUN BAHAR· KAALI DAN GAURI· ARTIKEL AK· VEERA· ASHOKA· SERIAL TV

Sinopsis Cinta Elif ANTV Episode 24 Tayang Sabtu 31 Oktober 2015



http://abadkejayaan-antv.blogspot.com/









Sinopsis #CintaElif Episode 24 Sabtu 31 Oktober 2015



Di dalam kapal, Pinar hampir sekarat karena terkurung tanpa makanan, minuman, dan tangannya terborgol berhari-hari. Hingga akhirnya polisi masuk dan menyelamatkannya.
 
 
 “Kapten... Kapten... ada seseorang di dalam sini....!” Seorang petugas polisi berteriak memanggil atasannya saat melihat Pinar.

Omer dan Komandan Sami mengantar Elif ke gedung perusahannya yang baru. Di dalam mobil, mereka masih saling berbincang.
 
 “Apa yang akan kita kerjakan? Kapan kita akan bertemu lagi?” Tanya Elif.
“Omer akan menghubungimu. Tunggu kabar dari kita!” Jawab Komandan Sami.
“Bicaralah dengan Metin seperti biasanya. Tetap tenang. Jangan sampai dia mencurigaimu.” Kata Omer.
“Omer, aku mengerti! Tak perlu kau mengatakan hal yang sama sepuluh kali. Aku tidak bodoh dan tak tuli.”
“Biar aku yakin, kau tak perlu marah!”
“Aku tak marah. Jangan takut!”
Setelah itu Elif turun dari mobil, dan masuk ke dalam gedung kantornya yang baru.
Omer dan Komandan Sami sedang makan siang di di kafe dekat dermaga. Sekaligus membicarakan soal Elif.
 
 
 “Gadismu tidak menolak. Syukurlah!” Ucap Komandan Sami.
“Dia tak punya pilihan lain selain harus menerimanya...” Balas Omer.
Omer terlihat sedang uring-uringan. Teh yang diminumnya terasa tak enak. Hingga ia memanggil seorang pelayan, memarahinya, dan meminta teh yang baru.
Komandan Sami menatapnya, “Aku paham dengan kegelisanmu. Kita akan menangkap komplotan pencucian uang, dan akhirnya, pembunuh tunanganmu akan terungkap. Tapi, ada sesuatu lain yang terlihat namun tak kau ceritakan padaku.”
“Memangnya ada yang lain, Pak? Bukankah sudah pekerjaan kita untuk menyingkirkan semua sampah itu (kejahatan) dari dunia ini?”
“Itu memang benar. Meski begitu, ada hal lain yang tak kau ceritakan padaku! Dengar, aku hanya akan bertanya satu kali dan jawablah pertanyaanku dengan jujur. Apa ada sesuatu di antara kau dengan Elif?”
Omer langsung pucat. Matanya menjelaskan semuanya.
 “Kau tak akan memberitahuku jika aku tak menanyakan, Kan? Baiklah!” Ujar Komandan Sami.
“Aku pikir itu tak penting, Pak!” Jawab Omer.
“Jangan membuatku marah! Kau tahu dengan sangat baik betapa pentingnya hal ini. Jangan main-main denganku, Omer! Kau tahu apa yang sudah kukatakan saat akan mengambil oprasi ini, Kan?”
“Aku akan membuat pencegahan, Pak! Tak ada sesuatu di antara kami mulai dari sekarang...”
“Tapi ada duka perpisahan di antara kalian.... apa aku benar? Apa yang akan dilakukan orang itu (Metin) pada kalian berdua?” Tanya Komandan Sami.
“Semuanya. Mereka sudah tahu semuanya. Mereka tahu kalau aku ini seorang polisi. Apa saja di antara aku dengan Elif.” Jawab Omer.
“Kelemahan mengantarakan kita pada bahaya. Kau tahu itu lebih dari siapapun. Kau tak akan bisa melindungi dirimu sendiri maupun gadis itu. Momen dimana hatimu mengendalikan, kau lebih mudah menjadi target mereka. Dengar, aku memperingatkanmu untuk yang pertama dan yang terakhir kalinya. Tak boleh ada sesuatu antara kau dan Elif! Jika sampai itu terjadi, aku akan menyingkirkanmu dan melanjutkan operasi ini sendirian. Dan kau akan bertanggung jawab atas semua ini.”
Di ruang kerjanya yang baru, Elif tampak melamun dengan memandang ke luar jendela. Levent mengetuk pintu, lalu masuk membawa karangan bunga yang sangat indah. Mereka bebarengan berucap, “Bagaimana kabarmu?”
 “Terima kasih banyak. Aku sedang menata-nata, bagaimana denganmu?” Ucap Elif.
“Sama...”
Mereka lalu duduk berhadapan.
“Kita belum membicarakan soal pemberhentianmu. Aku tahu alasan kau sangat marah dan kenapa kau memutuskan hal itu. Semuanya adalah salahku. Tolong maafkan aku!”
“Aku tidak marah, Elif, hanya saja aku berpikir pengunduran diriku ini lebih bagus buatmu.. itu saja.”
“Tapi itu tidak akan bagi bagi perusahaan. Kau tahu bahwa kau dan Bahar adalah satu-satunya yang bisa kupercaya untuk perusahaan ayahku ini.”
“Tentu.”
 “Lihatlah, perusahaan ini adalah karyamu yang hebat. Karenamu, beban perusahaan menjadi menurun, dan kita bisa merencanakan masa depan perusahaan ini.”
“Itu sudah pekerjaanku Elif.”
“Makanya jangan tinggalkan pekerjaanmu. Jangan menarik dukunganmu, Leent.”
“Elif, sesungguhnya aku tak benar-benar ingin mundur. Tapi kau tahu ada masalah lain.”
“Apa itu?”
“Pacarmu, Omer. Selama aku masih di sini, Omer tak akan menyukainya. Dia akan terus mengganggumu. Dan ketika kau mulai terganggu, maka itu menggangguku.”
“Masalah seperti itu tak akan pernah terjadi lagi.”
“Apa kau yakin?”
“Kami... Omer dan aku tak seperti sebelumnya lagi (putus).”
“Baiklah...Aku akan tetap disini selama kau membutuhkanku.”
Elif tersenyum, “Terima kasih banyak Levent.”
Elif lalu mendapat telepon, dari Tayyar Dundar.
“Ya, Paman Tayyar!”
Di saat yang bersamaan, Levent pergi meninggalkan ruangan Elif.
Di rumah Omer, ibunya tampak terus menyapu halaman. Melike lalu datang.
 “Ibu, halaman depan rumah kita sudah seperti kaca karena kau terus-terusan membersihkannya. Sebaiknya kau tak perlu menunggu terus! Anakmu itu (Omer) tak akan pulang.” Ledek Melike.
“Urus saja dirimu sendiri dengan roti mericamu. Semuanya bisa gosong!” Ucap Ibu Elvan.
“Tak akan gosong. Semuanya baik-baik saja.”
Setelah itu Melike pergi ke dapur. Ibu Elvan terus saja memandang ke arah jalan. Di sana terlihat mobil merah. Namun Omer tak kunjung datang. Ibu Elvan pun kembali menyapu. Lalu ia menoleh lagi ke jalan. Omer akhirnya terlihat pulang.
 
 
 “Darimana saja kau, Nak?”
“Apa yang terjadi, Bu? Saat kau memanggilku, kau terlihat stress. Apa ada masalah?”
“Cihan dan Ferhat sedang menunggumu (di ruang tamu).”
“Kenapa?”
“Hari ini kan pesta sunatannya Cihan. Jangan bilang kau lupa?”
“Jangan katakan itu!”
“Mereka kesini sejak kemarin. Aku menelepon berkali-kali, tapi tak bisa menghubungimu.”
“Bu, aku punya pekerjaan yang sangat penting, makanya aku lupa.”
 Melike muncul dan meledek Omer, “Kami tahu pekerjaanmu. Bagus, Omer! Ibunya Elif baru saja meninggal. Kau jangan meninggalkannya sendirian! Elif tak seperti kita. Dia perempuan yang lemah. Dia butuh kepedulian,,,, tentu.”
 Omer kesal dan langsung masuk ke dalam rumah. Ibu Elvan lalu memarahi Melike, “Berpikirlah seribu skali lebih dulu da baru bicaralah sekali, Menantuku yang cantik!”
“Baiklah, Bu!”
Di kantor Tayyar Dundar, Elif berkunjung. Tayyar sedang memberi makan ikan-ikan piranhanya saat itu.
 “Aku tak berpikir untuk menghubungimu. Kau pernah membicarakan akan pergi ke suatu tempat. Apa yang terjadi?” Tanya Tayyar.
“Semuanya telah berubah... dan aku telah menyelesaikan masalah itu.”
“Bagus... bagus... karena kau mengubah rencanamu. Kau bisa memberitahu Paman Tayarmu ini apa yang sedang kau rencanakan?”
Elif terdiam, dia mengingat pesan Omer dan juga Komandan Sami untuk tak memberitahu siapapun tentang rencana mereka.
“Aku akan memberitahumu saat waktunya tepat. Kau akan tahu.”
“Baiklah. Aku tak akan mendesakmu.”
“Ngomong-omong, kapan dokternya Asli akan pergi? Aku ingin menjenguknya...”
“Mereka akan memberitahu kita dalam waktu dekat...”
Seorang sekretaris lalu masuk mengantar minuman. Tayyar memberitahu Elif kalau dirinya dilarang minum kopi. Saat Elif bertanya kenapa, Tayyar mengalihkan pembicaraan.
 
 “Manajar kemaaan rumah sakit datang hari ini. Mereka mengatakan kalau semua rekaman CCTV dari klinik ini sudah terhapus. Seseorang telah mencurinya.”
“Sayang sekali...”
“Aku sudah bicara pada mereka untuk mematikan rekaman CCTV di ruang rawatnya Asli, agar ibumu tidak marah. Kau tahu kan ibumu sangat sensitif soal itu. Ada banyak wartawan dan orang-orang yang suka ingin tahu, itu kenapa ibumu tak ingin penyakit Asli diketahui. Sekarang aku tahu betapa pentingnya informasi dari rekaman CCTV itu. Itu juga membuatku sangat marah, dan aku telah memecat mereka semua.”
“Apa kau sudah melapor ke polisi?”
“Tentu saja sudah. Bagaimana bisa aku tak melaporkannya?”
Di ruang tamu rumahnya, Omer berbincang dengan Ferhan, tetangganya yang akan membuat pesta sunatan anaknya, Cihan. 
 
 
 
 

Ferhat meminta tolong Omer untuk membantunya. Hasan dan Cihan lalu masuk dan kejar-kejaran. Hasan menakut-nakuti Cihan. Melike lalu bergabung dan menyuruh Cihan agar tidak takut saat disunat. Setelah itu semuanya pergi.
Di kolam renang, di halaman depan rumahnya Tayyar, Nilufer menghampiri Mert yang sedang sarapan di gazebo. Nilufer merayu Mert dengan menyebut Mert satu-satunya orang yang selalu ada bersamanya. 
 

Setelah itu Nilufer meminta agar Mert meminjaminya telepon. Namun Mert tahu, kalau Nilufer hanya ingin menelepon kekasihnya. Mert marah. 
 “Kau pikir aku ini bodoh. Aku tahu,,, video itu adalah videmu dengan si bedebah itu. Apapun yang kau inginkan dari pria itu, dia Cuma orang yang menjijikkan. Apa kau paham? Aku tak akan membiarmu menemuinya...”
Kembali ke rumah sakit. Tayyar memberitahu Elif soal Asli saat mereka berjalan di lorong.
 “Paman Tayyar, aku ingin membawa Nilufer keluar dari rumahmu....”
“Apa kau yakin? Aku bisa menjaganya. Dengarkan aku, pria itu meneleponnya terus-terusan. Setidaknya ada 20 panggilan tak terjawab hari ini,” Jawab tayyar sambil mengeluarkan ponsel milik Nilufer dari saku jasnya. “Sudah jelas bahwa pria ini tak akan meninggalkan Nilufer sendirian.”
“Sungguh bencana.”
“Siapa dia Elif?” Tayyar pura-pura tak tak tahu.
“Pria menjijikkan.”
“Laporkan dia ke polisi dan mereka akan menangkapnya.”
“Jangan! Tak perlu melakukan hal itu saat ini. Cukup bagiku untuk tak membiarkan Nilufer menemuinya lagi.”
“Jangan takut. Selama dia bersamaku, maka bedebah itu tak akan bisa menemuinya sekalipun ujung jarinya Nilufer.”
Elif lalu melihat dokternya Asli. “Bukankah orang yang baru saja lewat adalah dokternya Asli? Itu artinya pemeriksaannya telah selesai. Ayo kita pergi ke sana!”
“Elif, berhenti. Aku punya sesuatu yang harus kukatakan padamu tentang Asli!”
“Apa yang terjadi? Dia tak mencoba melukai dirinya lagi, kan?”
“Bukan itu.”
“Katakan padaku apa yang terjadi, Paman?”
“Asli tidak mengingat kematian ibumu.”
 “Bagaimana bisa? Dia hilang ingatan?”
“Tak semuanya. Hanya ingatan pendeknya. Yang tak diingatnya adalah semua yang terjadi setelah dia dibawa ke rumah sakit ini.”
“Ya Tuhan....” Elif shock da duduk di sofa.
“Berita kematian adalah tragedi yang bisa menguncang otak seseorang. Khususnya bagi Asli. Sebenarnya Asli berusaha tak ingin untuk mengingatnya.”
Tayyar lalu meminta Elif untuk memberitahu Asli lain waktu.
Elif menolak, “Tidak. Tidak. Memberitahu Asli adalah tugasku. Seseorang harus mendengar kabar duka dari orang yang sangat disayanginya. Mereka akan bisa saling berpegangan....”
“Baiklah...” Tayar pasrah.
Setelah itu Elif pergi menemui Asli.
Saat Asli melihat Elif di pintu, ia langsung senang dan berlari memeluk Elif.
 
 “Asli.”

“Elif. Adikku sayang....”
“Sayangku....”
“Aku pikir kau sudah melupakanku.”
“Bagaimana bisa aku melupakanmu. Aku datang seperti yang kau lihat.”
“Dengarkan apa yang akan kukatakan. Bilang juga pada ibu dan Taner kenapa tidak datang lagi kesini oke? Karena mereka meninggalkanku disini dan tak kembali lagi.”
“Ayo duduklah.”
“Baiklah. Setiap orang marah kenapa dan itu kenapa mereka mengacuhkanku...”
Elif dan Asli lalu duduk bersebelahan di tempat tidur.

 
 
 
“Ada sesuatu yang harus kusampaikan padamu, Kak. Kita telah kehilangan ibu kita dalam sebuah kecelakaan....”
Asli tergemap tak percaya. Matanya terbeliak memerah. Air matanya lalu keluar. Setelah itu ia berteriak histeris dan menangis. Elif memeluknya.
“Ibu......!”
Tayyar menemui Metin di ruang operasi pribadinya. Setelah menanyakan kabar, Tayyar bertanya soal Elif pada Metin.
 “Apa yang terjadi pada Elif?”
“Dia meninggalkan rumah pagi-pagi. Aku lalu melihatnya di depan kantornya tapi dia buru-buru masuk. Setelah itu, dia menemuimu. Aku setiap langkah yang dibuatnya...”
“Tapi kau tidak tahu dimana dia antara dari rumah dan kantor.”
 
 
 Tayyar marah dan mencengkram jari Metin yang masih terluka akibat dipalu Tayyar tempo hari. Tayyar lalu menyuruh Metin untuk tak sibuk dengan urusan cinta (Nilufer) karena itu hanya akan buang-buang energi.
Tayyar lalu memberitahu Metin, “Karena hatimu (Nilufer) ada di tanganku sekarang, Metin. Di dalam rumahku. Bersamaku dan juga Mert!”
Itu membuat Metin marah tapi ditahannya.
“Dan jangan memberi Elif video itu sampai aku menyuruhnya. Dia akan mendengar berita kematian Taner, dan dia akan hancur hari ini. Biarkan dulu dia hidup dengan kesedihannya. Biarkan hari-hari berlalu, dan dia akan memulihkan kekuatannya lagi. Setelah itu, beri dia video itu (Video Asli yang mendorong Zerrin).”
Tayyar memberi Metin segelas minum.
“Apa itu selesai.”
“Selesai? Aku telah menyewa sebuah rumah. Kau akan pindah ke sana besok, dan kau akan tinggal di hotel kemudian. Kau tak akan memberitahu pacaru tentang rumahmu lagi. Oke? Kau tidak akan membahayakan dirimu, aku, dan pekerjaan kita lagi. Sekarang hubungan kalian sudah berakhir.”
Di apartemen Bahar. Bahar mencari Levent. Ada tiga koper di ruang tamu. Levent lalu keluar. 
 
 

“Apa yang terjadi?”
“Aku akan meninggalkanmu. Semuanya sudah selesai.”
“Jangan berkata yang bukan-bukan, Sayang. Apa maksudmu dengan kau akan meninggalkanku? Demi Tuhan. Bawa lagi kopermu ke dalam!”
“Sepertinya kau tidak mengerti diriku, Bahar. Aku ingin berpisah denganmu.”
Bahar shock. “Apa kau serius?”
“Ya.”
“Levent. Duduk dan bicaralah. Aku siap untuk menebus semua kesalahanku. Tapi kau tak bisa pergi seperti ini.”
“Tak ada lagi yang bisa kita bicarakan. Semuanya selesai. Sesederhana itu. Dan tak ada alasan lain....” Levent bersikeras pergi.
Bahar mencegah, “Levent Demi Tuhan, beri aku kesempatan lag, kumohon! Aku bisa memperbaiki semua kesalahanku. Kumohon, beri aku kesempatan....”
“Bahar! Tinggalkan aku sendiri!!!”
Bahar akhirnya minggir. Levent membuka pintu. Bahar meneriakinya dari belakang.
  “Kau telah jatuh cinta padanya (Elif)....! Kau telah jatuh cinta pada Elif...itu kenapa kau berubah pikiran soal pengunduran dirimu. Aku sedang bicara denganmu maka jawablah!”
 
 Levent berbalik, “Aku tak tahu apakah aku mencintai Elif atau tidak, tapi yang kutahu dengan sangat baik, bahwa aku sudah tidak mencintaimu lagi, Bahar! Dan kau sendiri yang bertanggung jawab atas semua ini. Jangan mencari orang lain hanya untuk kau sakiti...!”
Setelah itu Levent pergi meninggalkan Bahar.
Di kampungnya, semua tetangga Omer sedang sibuk menyiapkan pesta sunatan Cihan. Begitupun Omer dan Arda. Mereka sibuk memasang lampu hias. 
 
 
 Sementara itu, Melike dan Ibu Elvan sibuk membuat bubur. Melike lalu menyuruh Pelin untuk mencicipinya.
 Omer dan Arda lantas memasang dekorasi pada mobil sedan yang akan digunakan Cihan pergi ke dokter sunat. 
 Saat Omer sibuk menempel tulisan, memberitahu Omer, “Kakakmu tak ada disini. Aku juga tak melihatnya seharian.”
“Kenapa? Apa dia tak ke kantor?”
“Tidak. Sebenarnya, kakak beradik (Omer dan Huseyin) meninggalkan pekerjaan mereka secara misterius. Akupun bilang ke Pelin. Hanya Tuhan yang tahu pekerjaan misterius apa yang sedang kalian berdua kerjakan!” Ucap Arda.
“Misteri apa?” tanya Balik Omer sembari menempel tulisan.
“Apa kau bersama Elif?”
“Aku punya pekerjaan lain daripada harus bersama Elif.”
“Baik, Kawan! Relax....!”
Setelah itu Ferhat menghampiri Omer dan berterimakasih atas semuanya. Hasan kembali menakut-nakuti Cihan kalau saat disunat itu sangat sakit. Cihan tampak pucat.
 
 Malam harinya.....

Malam harinya, Cihan telah disunat, dan tidur di pembariangan yang diletakkan di tengah halaman rumahnya. Sementara itu pesta digelar di sekelilingnya. 
Omer duduk di samping Cihan. Orang-orang mulai menghadiahi lembaran uang kertas di dekat Cihan. Hasan berkomentar kenapa tidak ada yang menghadiahi uang berwarna emas. Omer dan Melike menyuruh Hasan untuk diam. Melike memarahi Hasan. 
 Di sisi lain, Ibu Elvan yang duduk bersama Arda, terus saja memandangi Omer dari kejauhan. Ibu Elvan mengenang saat anak-anaknya masih kecil. Dia tampak kecewa karena Huseyin tidak hadir. Arda memberitahu Ibu Elvan kalau Huseyin pasti sedang punya pekerjaan penting.
Sementara itu, Melike sedang bergosip dengan para tetangganya. 


Melike memberitahu mereka, kalau Omer sudah melupakan Sibel, dan kini Omer sudah punya pacar baru, seorang gadis kaya, dari kalangan sosialita. Pernikahan mereka akan digelar sangat mewah. Melike menyuruh mereka untuk mengumpulkan banyak uang agar bisa membeli baju saat menghadiri acara pernikahan mereka nanti.
 
 Omer mendengarnya, dan langsung mengajak Melike bicara berdua. Omer menegur Melike agar tak bicara macam-macam. 
 Hasan lalu datang dan memberitahu Omer kalau Elif datang menemuinya. Omer tampak terkejut dan langsung menemuinya.
Elif menepikan mobilnya di pinggir jalan, ia lalu melangkah ke arah Omer.
 
 “Elif...!”
“Aku berhenti di depan rumahmu, tapi kata tetanggamu, kau ada disini.” Ucap Elif.
Omer tampak tegang. Elif lantas bertanya, “Apa kau tak suka aku datang?”
“Bukan begitu. Tak masalah. Apa ada sesuatu yang terjadi?”
“Tidak. Cuma saja aku kepikiran soal...”
“Soal apa?”
“Apa yang terjadi hari ini (Pertemuan diam-diam pagi tadi). Apa itu idemu?”
 “Apa pentingnya itu Elif?”
“Itu penting bagiku. Karena jika itu idemu, artinya kau sedang berusaha untuk menolongku. Itu artinya aku masih punya tempat di hatimu.”
“Lihatlah, ini bukan waktu yang tepat, ataupun tempat yang tepat untuk membicarakan hal ini...” Omer berkelit. “Jadi, jangan lagi merisaukannya, Oke?”
Melike lalu datang, “Omer!.... ah selamat datang Elif!”
“Terimakasih...”
Melike memberitahu Omer, “Omer, semua orang sedang menunggumu. Kau harus yang pertama menari. Musiknya sudah siap. Cepatlah!”
“Baiklah, aku akan kesana...”
Omer lalu berbicara pada Elif, “Baiklah, sekarang tenanglah... jangan takut!”
 Elif pun berniat pergi, namun dicegah Melike. “Apa kau tak ingin disini saja? Ayolah...! Kamu bisa ikutan menari... dan juga membuang stresmu. Ayolah!”
“Tidak. Terima kasih. Sebaiknya aku pergi...”
Omer lalu menyindir Elif, “Dia tak mengerti jenis tarian ini. Yang dia tahu Cuma flameco... tango....”
Omer pun berlalu meninggalkan Elif dan bergabung ke pesta. “Ayo, mainkan musiknya!” Pinta Omer.
Melike terus saja mendesak Elif untuk ikut bergabung ke pesta. Elif pun akhirnya luluh dan hanya menonton dari belakang bersama Melike.
 
 
 
 
 Omer, Arda, Pelin, dan Ferhat mulai berjoged (flamenco ala Ankara) dengan diiringi lagu Turki. Elif terus saja memandangi Omer dari kejauhan. Matanya tak berkedip sama sekali. Sementara itu Melike terus mengoceh di sampingnya.
Arda dan Pelin melihat Elif. Pelin lalu mengajak Elif berjoged. 
 

Elif menolak. Pelin mengajaknya lagi. Setelah dipaksa Melike, akhirnya Elif mau bergabung untuk berjoged. 

 
 

Omer terkejut melihat Elif menari di depannya. Keduanya pun hanyut dalam alunan musik, tarian, dan pandangan yang tak saling lepas. Pelin dan Arda terus saja menertawakan tingkah keromantisan Elif da Omer yang tak pernah melepas pandangan sekalipun.
Rupanya Elif sedang membayangkan Omer memakai setelan pengantian. Begitupun Omer yang sedang membayangkan Elif memakai gaun pengantin warna putih, dan keduanya sedang menari di pesta pernikahan.
 
 
 Hingga musik berhenti, Elif dan Omer masih saja berjoged. Keduanya tetap saling berpandangan. 

 Arda tertawa, dan menegur Omer kalau musiknya sudah selesai.
 
 Omer dan Elif sama-sama tercenung, malu, lalu Omer tersenyum
“Tarianmu tak buruk.” Ucap Omer.
“Terima kasih,” Balas Elif.
“Tarianmu tidak buruk. Dia sangat total...” Sela Melike.
“Melike, biarkan mereka sendiri. Ayo kita menari lagi...!” Sahut Pelin.
Ferhat lalu menyuruh untuk memainkan musiknya lagi. Namun Elif malah mengambil dompetnya.
“Kau mau kemana?” Tanya Omer.
“Mengucapkan selamat pada anak yang disunat itu! Aku baik-baik saja. Jangan lakukan apapun!” Jawab Elif.
 Omer lalu mengantar Elif menemui Cihan. Elif menghadiahinya berlembar-lembar uang. Setelah Elif pamitan pada ibunya Cihan, dia berniat pergi dan Omer mengucapkan sesuatu padanya.
 
 “Kau tak menikmatinya (pesta), kan?”
“Tidak, malah sebaliknya. Aku sangat menikmatinya. Tapi aku tidak mau mengganggumu lagi.”
“Kau memang berbeda dari orang biasa, Signorina (Nona)!”
“Aku juga tumbuh di negara ini, Commiser (Pak Detektif)! Kau menganggap kalau diriku tak nyaman dengan pesta ini karena keluargaku kaya. Semoga harimu menyenangkan!” Elif lalu pergi.
Omer hanya terdiam. Dia hanya melihat dari kejauhan saat Elif pergi dengan mobilnya. Wajah Omer terlihat kesal.
Setelah itu, Omer, Arda, dan Pelin berbincang di satu meja, masih di tengah pesta.
 
 
 “Wow... Elif sungguh mengejutkanku kadang-kadang!” Ujar Pelin.
Omer langsung menenggak habis minumannya saat mendengarnya. Arda lalu meledeknya. “Haruskah kupesankan lagi minuman untukmu?”
“Apa masih ada lagi sirup strawberry-nya?” Tanya Omer.
“Aku akan mencarikannya....”Jawab Arda.
“Jangan... dia sedang kacau...” Ucap Pelin sembari menatap Omer.
“Bukankah kau yang memulai pembicaraan ini, Pelin?” Omer kesal. Omer lalu menyuruh Arda. “Cepat bawakan aku sirup strawberry yang banyak!”
Arda pun pergi. Pelin lalu menanyai Omer. “Omer, ada sesuatu dalam hidup ini yang tak bisa kau ingkari. Kau tahu itu kan?”
“Kenapa kau tak meminum tehmu saja?” Suruh Omer.
“Baiklah, kita akan membicarakannya nanti saja!” Pelin memalingkan muka.
Huseyin lalu datang. “Selamat malam...!”
 “Oh Kakak, kami sangat meridukanmu!” Ledek Omer.
“Apakah kau bisa memberitahu kami, kau sangat terlambat....” Tambah Pelin.
“Aku dinas di luar, Pelin!” Jawab Huseyin.
“Selamat datang, Bos! Apa kau mau minum?” Tanya Arda saat dia datang membawakan minumannya Omer.
“Jangan pikirkan soal itu sekarang. Aku harus memberitahu kalian sesuatu.”
“Apa yang terjadi?”
“Menantunya Ahmed,,, Taner. Dia bunuh diri.”
“Jangan katakan itu!”Ucap Arda.
“Kapan?” Tanya Omer.
“Semalam,” Jawab Huseyin.
“Kenapa kita baru tahu sekarang?” Omer heran.
“Jangan marah! Apa kau pikir aku yang merahasiakannya? Mereka mencoba menghubungi keluarganya tapi mereka tak bisa menemui siapapun. Kita pun baru tahu sekarang.”
Omer lalu berniat pergi, dan Huseyin menanyainya. “Kau mau kemana?”
 “Ke tempat dimana insiden itu terjadi, Kak!”
“Tak ada insiden, Omer! Pria itu menanggung perasaan bersalah hingga dia membunuh dirinya sendiri.”
“Kak, ada seseorang yang mencoba menutup kasus ini entah untuk alasan apa. Jangan membantu mereka juga. Kasus ini akan ditutup tapi kau takan menutupnya demi aku, Kak!”
Omer lalu pergi. Arda dan Pelin ikut bersamanya.
Huseyin kesal sendiri hingga terpaksa ikut mereka.
Di dalam sel penjara, Omer menginterogasi teman satu sel Taner (orang suruhan Tayyar dan Metin yang membunuh Taner). Sementara itu Huseyin tampak diam di sudut tembok.
 
 “Apa kau tak mendengar sesuatu? Dia pasti membuat suara saat itu...” Tanya Omer.
“Bukankah aku pasti akan mencegahnya jika aku mendengarnya? Maafkan aku, tapi aku benar-benar terlelap saat itu.”
“Lalu bagaiana bisa kau gambar kejadiannya?” Tanya Pelin.
“Ketika aku bangun, aku sudah melihatnya tergantung. Pria yang malang. Semoga Allah mengampuni dosa-dosanya.”
“Dan setelah itu?” cecar Omer.
“Setelah itu mulai berteriak dan para penjaga datang. Mereka yang menurunkan tubuh pria malang itu. Dia juga meninggalkan selembar surat di kasurnya. Petugas datang dan mengambilnya. Semuanya terjadi seperti yang kuceritakan.”
Meski begitu, Omer tampak tak mempercayai orang itu. Omer lalu menoleh ke arah Huseyin. “Kau tak seharusnya melibatkan dirimu dalam masalah ini, Kak!”
Mereka berdebat kecil. Omer lalu memeriksa tempat tidurnya Taner. Ia menemukan kancing bajunya Taner, lalu menyuruh Pelin mengambil sarung tangan untuk mengambilnya.
Omer curiga kalau kancing itu milik Taner yang jatuh saat dia digantung. Huseyin meyakinkan Omer, bisa jadi itu milik orang lain.
 Arda datang membawa surat yang ditulis Taner sebelum meninggal. Surat pengakuan Taner pada istrinya (Asli). Omer terkejut melihatnya, karena disitu Taner mengakui semua.
FLASHBACK : Di malam terbunuhnya Taner, sebelum teman satu selnya menjerat lehernya sampai tewas, seorang penjaga datang membawa kertas dan pena. Penjaga itu menyuruh Taner menulis surat pengakuan pada istrinya terlebih dahulu. Taner tak mau. Ia pun dipaksa dengan tali dilingkarkan ke lehernya. Setelah ia menulis surat pengakuan itu, Taner pun dibunuh dengan jeratan tali.
 
 
 Flashback berakhir.
Omer menatap penuh curiga ke arah teman satu selnya Taner. Setelah itu ia keluar. Arda, Pelin, dan Huseyin ikut menyusul di belakangnya.
Rupanya Omer, Arda dan Pelin pergi ke rumah Tayyar. Di depan rumahnya berdiri banyak penjaga.
 
 Omer menunjukkan identitasnya. “Saya Omer Demir. Detektif. Saya ingin menemui Tuan Tayyar Dundar!”
“Baiklah!” Salah penjaga lalu masuk memanggil Tayyar.
Sementara itu, Pelin dan Arda berbincang berdua.
“Kenapa kita meninggalkan Pak Huseyin? Aku tak mengerti...” Ucap Pelin.
“Nanti saja kita tanyakan hal itu pada Omer!” Jawab Arda.

Tayyar yang sedang berada di teras depan rumahnya, menyuruh penjaganya agar mengizinkan Omer masuk. Penjaga itu berlari memanggil Omer.
 “Ada apa, Tuan Omer? Apa yang terjadi malam ini?” tanya Tayyar. “Silahkan duduk....!”
“Aku tidak datang untuk duduk, Tuan Tayyar! Bisakah kau memanggil Nona Pinar?”
Tayyar shock. “Apa alasannya?”
“Aku punya beberapa pertanyaan mengenai kasus Ahmed Denizer dan Sibel Andac!”
“Aku kira mereka menahan Taner dan kasusnya ditutup. Apa ada perkembangan baru?”
“Investigasinya masih berlanjut. Semuanya bisa kujelaskan sekarang. Tapi bisakah kau memanggil Pinar?”
“Pinar tak ada disini.”
“Apa dia ke rumah ibunya? Bisakah kau menghubunginya atau memberiku alamatnya?”
“Pinar telah meninggalkanku. Kami berpisah.”
“Oh...hubungan kalian terlihat harmonis dari kejauhan.”
“Itu juga yang kupikirkan. Tapi hidup tak seperti itu. Penuh dengan kejutan.”
Sementara itu Omer terus mengawasi rumah Tayyar. “Baiklah...! Apa kau punya sebuah alamat? Apakah kau tahu kemana dia pergi?”
“Apakah kau datang untuk menabur garam di lukaku?”
“Maafkan aku...”
“Itu tak penting. Kau sedang mengivestigasi. Kau tak salah.”
“Selamat malam Tuan Tayyar. Maafkan aku karena sudah mengganggumu.” Omer akhirnya pamitan.
“Kau juga, selamat malam!”
Di rumahnya, Elif dan Bahar dua berdua di atas karpet, di ruang tamu.
 “Aku mulai mendengar suara-suara aneh di rumah ini. Rupanya saat dirimu tinggal sendiri, kau mulai merasa takut pada rumahmu sendiri....” Ujar Elif.
“Dengarkan aku! Aku rasa kau harus pindah dari rumah ini. Atau jual saja. Kau butuh uang. Mungkin rumah ini hanya akan memberimu perasaan yang tidak baik.” Saran Bahar.
“Ibuku dan ayahku masih tinggal di rumah ini, Bahar! Kami sudah tinggal di rumah ini. Aku akan berjuang hingga akhir agar tak kehilangan rumah ini. Aku akan membuat rumah ini menjadi hangat lagi.” Elif menangis.
Setelah itu terdengar bunyi bel pintu. Elif dan Bahar bersama-sama menghampiri pintu, lalu Elif membukanya.
Rupanya yang datang adalah Omer, Arda, dan Pelin.
 
 
“Omer...” Ucap Elif sembari membaca wajah Omer yang dicekam kesedihan. “Sesuatu yang buruk telah terjadi?”
“Elif.... kami kehilangan Taner.” Jawab Omer.
Elif shock, menutupi wajahnya dan menangis. Omer mendekat dan memeluknya.
Sementara itu, Pinar berada di ruang ICU rumah sakit.
Keesokan harinya, Taner dikuburkan. Asli menangis di dekat pusaranya. Elif dan Nilufer berdiri di belakangnya. 
 
 
 Setelah itu Asli berdiri di depan kuburan ibunya. Air matanya kembali pecah. Ia pun berbaring di atas kuburan. Elif dan Nilufer menghampirinya.
Di rumah rahasianya, Huseyin sedang bersama istri simpanannya dan anak lelakinya. Mereka bersenda gurau dan tertawa bahagia.
 
Malam harinya, Elif terbangun lalu menangis di dekat jendela kamarnya. 



Diam-diam Omer mengawasinya dari kejauhan (di tepi jalan) dan ikut bersedih.Omer lalu pergi dengan mobilnya.
Dua hari kemudian. Omer mendatangi gurunya, seorang ahli kaligrafi, untuk menyelidiki tulisan Taner dalam surat pengakuannya sebelum ditemukan tewas di penjara.
 Saat gurunya sedang sibuk mengamati tulisan Taner.... Omer malah sibuk memandangi GambarKaligrafi Penari Sufi yang terpajang dalam bingkai, di meja belakang gurunya. Omer menyukai gambar itu.
 “Apa kau yang membuatnya? Itu sangat indah!” Ucap Omer.
“Kubuat musim semi ini. Jika kau suka, kau bisa memilikinya.”
“Itu seperti aku telah memintanya, Guru!”
“Kenapa kau tak memintanya saja? Akupun membagi-bagikan gambarku ke orang lain. Gambar ini akan jatuh ke tanganmu untuk dekorasi dinding rumahmu.
 Omer tersenyum saat memandangi gambar itu. Ada tulisan arab di dalamnya. “Apa ini artinya?” Tanya Omer.
Tahu-tahu Omer sudah berada di dalam kantornya Elif sembari membawa gambar yang diberikan gurunya tadi. 

Dia mencari-cari tempat yang pas untuk meletakkan gambar itu.
Elif lalu datang. “Omer... selamat datang!”
 “Terima kasih. Selamat untuk kantor barumu. Ini tak sedingin seperti kantormu yang dulu...”
“Sanjunganmu sangat manis. Terima kasih.”
“Bagaimana kabarmu?”
“Aku sedang mengelola perusahaanku.”
“Aku sedang menyiapkan pernyataan....”
“Aku tidak datang untuk pernyataanmu tentang Taner. Jika kau tidak membawa berita buruk lagi...”
“Apa kau pikir aku suka memberimu kabar buruk?”
“Bukankah semua itu bagian dari pekerjaanmu? Apa bedanya jika kau marah padaku ataupun orang? Apa ada artinya bagimu? Benar kan?”
Omer terdiam. Kesal.
Elif melihat ada sesuatu yang disembunyikan Omer. “Apa itu di tanganmu?”
“Sebuah hadiah. Hadiah kecil untuk kantor kecilmu.”
Omer memberikan gambar yang diminta dari gurunya pada Elif.
 
 “Sangat indah...” Elif menyukainya.
“Itu sebuah kaligrafi yang diberikan padaku. Saat aku melihatnya, aku langsung memikirkanmu.” Ucap Omer.
Elif tersenyum, “Apa kau tahu tulisan di kaligrafi ini?”
“Tentu saja aku tahu...tulisannya : Be how you appear or appear how you be....”
Omer lalu melanjutkan ucapannya, “Aku temukan dinding kosong agar kau bisa meletakkannya di sana. Saat kau melihatnya, kau akan memikirkanku.”
Elif hanya terdiam menatap Omer.
Omer pun mengajak Elif bersiap, “Ayo... kita harus segera pergi!”
“Kemana?” Tanya Elif.
“Jangan bertanya! Ikut saja denganku...!”
“Jangan bergurau Omer. Aku tak bisa pergi kemanapun hari ini. Aku tak punya waktu.”
“Ayo pergi dan kau akan mengerti sesampainya di sana nanti...”
“Omer!”
Elif akhirnya mengikuti kemauan Omer.
Di luar kantor, Elif memberitahu Omer, “Aku lelah dengan permainan teka-teki...tahukah kau?”
Elif terus menggerutu, namun Omer malah membelikannya Pretzel (kue kering) yang berjualan persis di depan kantornya Elif. 



Omer menawari Elif, namun Elif tak mau. Di saat yang bersamaan, Bahar datang dengan mobilnya. Bahar melihat Omer dan meledeknya, “Oh lihat siapa yang ada disini....! Aku melihat ada Detektif Omer menghiasi kantor baru kita.”
 Omer tampak tak menyukai dan mengacuhkan Bahar. Omer lalu pergi begitu saja bersama Elif.
Saat berjalan menuju mobil, Omer dan Elif berpapasan dengan Levent yang baru saja turun dari taksi. Levent menatap kecewa ke arah Elif. Sedangkan Elif merasa tak enak kepada Levent dan Cuma mengucapkan salam. Omer terlihat cemburu. 


 

Setelah itu keduanya masuk ke dalam mobil dan pergi.
Levent hanya terdiam menahan kekecewaannya. Bahar melihat Levent dari kejauhan namun tak berani menghampirinya. Bahar tahu kalau Levent cemburu pada Omer, karena dia benar-benar mencintai Elif.
Di dalam mobilnya, Omer yang sedang menyetir dan mengemil kue, tak bisa menyembuyikan kecemburuannya pada Levent.
 “Orang bodoh itu masih saja bekerja di perusahaanmu?”
“Siapa?”
“Memangnya siapa lagi? Levent atau siapalah. Yang tinggi itu...”
“Ya. Kau salah paham dengannya, Omer!”
“Huh. Itu tak penting bagiku. Oke?”
“Lalu kenapa kau menanyakan hal itu jika kau tak peduli, Detektif?” Elif kesal.
“Baiklah, Signorina (Nona)! Baiklah, aku tak akan bertanya.”
Di kantor polisi, Komisaris Ali duduk di meja kerjanya Pelin dan sedang memeriksa berkasnya Taner. Ada Pelin, Arda, dan Huseyin di sana.
 “Apa yang sudah kalian temukan dengan kancing bajunya Taner ini?” Tanya Komisaris Ali.
“Belum ada, Pak. Kancing ini bukan dari bajunya Taner. Ada sidik jari orang lain di sana. Itu milik tahanan lain yang ada di dalam sel itu --- seseorang yang masuk sebelum Taner!” Jawab Pelin.
“Dan kita tidak menemukan sidik jari orang lain pada kancing itu.” Tambah Arda.
“Lalu? Apa lagi yang kalian cari? Semuda bukti sudah disimpulkan. Dia jelas-jelas bunuh diri. Seorang pembunuh melakukan bunuh diri. Itulah yang terjadi...” Bentak Komisaris Ali.
“Demi Tuhan, akupun mengatakan hal yang sama, Pak, tapi aku tak bisa membuat mereka mendengarkanku...” Sela Huseyin.
“Siapa yang tak mau mendengarkanmu? Bahkan kepala penjara melaporkan kalau itu adalah bunuh diri. Apa lagi yang kalian bingungkan setelah terkumpul semua bukti? Aku punya 80 kasus lainnya di meja kerjaku.” Komisaris Ali marah-marah.
“Tak ada catatan bunuh diri... tapi....” Ucap Pelin yang disela Huseyin.
“Pelin, ada surat yang ditulis sendiri oleh pria itu. Kita sudah melaporkannya.” Sela Huseyin.
“Pak, itu memang benar. Tapi bagaimana kita tahu dia menulisnya atas keinginannya sendiri? Mungkin saja dia dipaksa untuk menulis itu...” Sanggah Arda. “Omer mengunjungi Taner sehari sebelum dia tewas. Dan taner berkata, jika Omer membebaskannya dari penjara, dia akan memberitahunya nama orang yang bertanggung jawab atas semua ini. Apakah ada orang yang ingin mati sementara dia berjuang menyelamatkan hidupnya sendiri, Pak?”
“Kematian tak pernah diputuskan dengan tangan. Itu terjadi tiba-tiba.” Elak Komisaris Ali.
“Kau ada benarnya juga, Pak. Tapi tidakkah kau memberi kami satu hari lagi. Jika kami tak menemukan apapun sampai malam,,,, kita bisa menutup kasus ini.” Pinta Pelin.
Komisaris Ali dan Huseyin saling menatap sebentar.
“Baiklah. Baiklah!” Ucap Komisaris Ali. “Lakukanlah... tapi aku tak mau ada penundaan lagi paginya, esoknya...!”
Setelah itu Komisaris Ali pergi. 
 “Kalian tak akan berhasil. Demi Tuhan, kalian tak akan berhasil!” Ujar Huseyin yang kesal pada Pelin dan Arda.
Huseyin lalu menanyakan dimana Omer. Arda dan Pelin tak tahu. Huseyin kesal lalu masuk ke dalam ruang kerjanya.

 
 
Omer mengajak Elif jalan-jalan ke suatu tempat --- sebuah jalan yang kanan kirinya dipenuhi pertokohan dan banyak turis berbelanja di sana. Omer meminta Elif untuk melihat banyak orang dan mempelajari bahasa tubuh manusia.
Omer lalu melihat keanehan di depan sebuah toko pakaian. Ada seorang wanita berambut coklat, menenteng tas hitam, sedang sibuk melihat-kain kain. Sementara di belakangnya ada perempuan tua, berkerudung, yang gerak-geriknya mencurigan. Lalu di depan wanita berambut coklat itu ada seorang ibu berambut pirang bersama anak balitanya.
 
 
 Omer lalu mengajak Elif bersembunyi di sisi toko sambil mengamati ketiga wanita itu.
 “Apa kau lihat wanita tua di sana?” Tanya Omer.
“Yang memakai scarf (kerudung)?” Tanya balik Elif.
“Ya. Lalu apa kau lihat perempuan yang membawa anak kecil di sana?”
“Ya.”
“Wanita tua itu akan mencuri dompet wanita yang sedang sibuk melihat-lihat pakaian di depan toko itu!” Ujar Omer.
“Omer, jangan bodoh! Wanita tua itu berwajah lugu dan baik. Dia sedang sibuk dengan urusannya sendiri.” Elif tak percaya.
“Ah... kau akan lihat!”
 

 
 Akhirnya, perempuan yang bersama anak kecil, menghampiri dan berlagak menyakan sesuatu pada wanita berambut coklat. Di saat yang bersamaan, wanita tua di belakang, mencopet dompet dari tas wanita berambut coklat. Elif berteriak, namun Omer memberitahunya bahwa sudah ada dua polisi yang akan mengejar wanita tua pencopet itu.
Di rumah sakit, polisi mendatangi Pinar yang sudah siuman. 
 “Kami ingin menanyakan sesuatu...” Ucap seorang polisi.
“Apa ada yang tahu bahwa aku berada di sini?” Tanya Pinar.
“Kami tak bisa menghubungi siapapun. Tak ada kartu identias maupun ponsel dalam bajumu. Apa kau ingat namamu dan apa yang terjadi padamu?”
Pinar ketakutan. Ia pun menjawab, “Tidak. Aku tak ingat namaku atau yang lainnya...”
Pinar berbohong agar keberadaannya tak diketahui Tayyar.
Sang polisi lalu menyuruh anak buahnya yang mencatat untuk mencari tahu siapa pemilik kapal tempat Pinar disekap.
Di tepi laut, Tayyar dan Metin sedang membicarakan Omer.
 
 “Dan si bedebah Omer juga ikut menyelidiki kasus ini (Pinar).” Ucap Tayyar.
“Itu bukan masalah. Polisi tak akan bisa menemukan jejak kita karena kapal itu tak terdaftar atas nama kita.” Balas Metin.
“Dimana perempuan itu (Pinar), Metin?”
“Kami sudah bertanya pada orang yang terakhir melihat kapal itu. Polisi pantai datang menyelamatkannya lalu pergi meninggalkan kapal. Tak ada yang tahu apapun setelah itu...” Jawab Metin.
Tayyar marah hingga menghancurkan gelas yang dipegangnya.
“Jangan membacakan puisi untukku. Lupakan semua prosedur! Pergi dan temukan wanita itu... dan bunuh dia!”
Sementara itu, Omer mengajak Elif ke hutan. Diam-diam, ada yang mengawasi mereka dengan teropong (Yang mematai-matai ialah Komandan Sami).

 
 
Omer lalu menggambar tanda silang sebagai sasaran tembak pada batang pohon. Ia lalu megajari Elif menembak. Awalnya Elif menolak, namun Omer terus saja meyakinkan Elif bahwa dia harus bisa memakai senjata untuk melindungi dirinya dari Metin.
 
 







SINOPSIS SHEHRAZAT ANTV


Artikel keren lainnya: